ali.maskur388@gmail.com

Minggu, 01 November 2015

Nikmat Mana Lagi yang akan Kau Dustakan (Versi Filsafat)

Bismillahirrahmanirahiim
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuhu

Pertemuan ke-2 ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 15 September 2015, pukul 11.10 WIB s.d 12.50 WIB di ruang 305B gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Matematika kelas A untuk mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Bpk. Prof. Marsigit, M.A.
Objek filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada, dan sifat-sifat  dari yang mungkin ada sangat banyak, baik yang telah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Oleh karenanya yang mungkin ada disini konteksnya adalah ada bagi siapa, karena jika dimisalkan ada bagi guru belum tentu ada bagi siswa ataupun sebaliknya, ada ku belum tentu atau mungkin saja ada bagimu dan ada mu belum tentu atau bisa saja mungkin ada bagiku.
Dalam proses pembelajaran adalah ada bagi guru dan ada bagi siswa, oleh karenanya belajar secara kacamata filsafat adalah “hanya mengadakan dari yang mungkin ada menjadi ada”. Entah dengan metode pembelajaran apa yang digunakan dalam proses belajar-mengajar, intinya belajar secara filsafat adalah meng”ada”kan yang mungkin “ada”, guru memberi informasi pengetahuan bagi siswa sehingga siswa yang tadinya belum tahu menjadi tahu, yang tadinya mungkin ada menjadi ada karena bahwa ia tahu (memahami). Terkait hal-hal yang mungkin ada disini sangat banyak sehingga mengetahui bahwa yang dimiliki manusia atau pengetahuan yang dimiliki manusia menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat  kecil yang tidak layak untuk sombong dengan apa yang ia miliki, baik kedudukan, gelar, dan lain sebagainya yang dibanggakan. Sehebat-hebat manusia pun tidak akan dapat mengetahui semua hal, dapat dikatakan manusia pasti memiliki yang mungkin ada, karena dengan kita memelajari yang ada saja tidak akan pernah selesai. Perihal yang harus kita syukuri adalah bahwasannya manusia diilhami sifat lupa, karena adanya sifat ini menunjukkan salah satu dari keterbatasan manusia. Dan justru keadaan seperti inilah yang membuat manusia hidup, karena ketika manusia diberikan anugerah untuk memiliki atau mengetahui semuanya maka manusia tidak akan bisa hidup, dengan istilah lain bahwa “kehidupan itu ada ketika manusia tidak sempurna”. Sebagai contoh: ketika seseorang mengetahui perihal yang menyebabkan ia menangis dan pada saat yang bersamaan ia mengetahui ia mengetahui perihal yang membuat ia tertawa, sementara ia dalam keadaan tertidur dan tidak tidur, kenyang sekaligus lapar, 2 keadaan yang saling berlawanan dirasakan dalam 1 waktu yang bersamaan, hal yang demikian sudah membuat seseorang menderita luar biasa. Oleh sebab yang demikian, kehidupan pada manusia adalah karunia dengan diberi keterbatasan oleh Allah SWT, keterbatasan dalam mendengar, merasakan, dan lain sebagainya.
Menggarisbawahi tentang cara bersyukur, maka banyak sekali cara menyukuri ciptaan Allah SWT, salah satunya adalah dengan merenungkan penciptaan manusia yang dianugerahkannya akal untuk menyimpan atau menangkap pengetahuan-pengetahuan, merespon kejadian-kejadian di alam sekitar, berpikir, semua respon tersebut dirancang dengan Maha dahsyatnya oleh Allah SWT sehingga kinerja anggota tubuh yang satu dengan yang lainnya bekerja secara sistematis, jauh berkualitas dibandingkan dengan ciptaan manusia (sepiring nasi dibandingkan dengan sepiring energi listrik), seperti itulah kelembutan ilmu dan karunia Allah SWT menurut kacamata filsafat.
Kecerobohan, ketidaktelitian manusia menjadi suatu titik kelemahan pada manusia dan itu adalah bagian dari hidup, dan dari hal tersebut manusia dapat bertahan hidup, bahwa manusia hanya menuju ke kesempurnaan, melengkapi dengan menuju sebagai pelengkap. Sebagai contoh ketika seseorang mengetahui karakteristik orang lain dari informasi yang diberikan dan sudah saling bertemu tatap muka itu masih berupa wadah, dan isinya adalah ketika ada dalam pikiran dan memikirkannya dan dalam hati ketika mendo’akannya.
Problem filsafat ada 2 macam, yaitu:
1.      Jika ia ada di luar pikiranmu, lalu bagaimana engkau mengertinya?
2.      Jika ia ada dalam pikiranmu, maka bagaimana engkau menjelaskannya?
Berfilsafat adalah melalui 2 hal tersebut. Ketika manusia dapat menjelaskan 2 hal terkait di atas maka alangkah hebatnya manusia, tetapi seandainya manusia dapat mencapai kesempurnaan itu, maka sudah tidak ada kehidupan baginya. Karena pada diri manusia, seseoarang tidak akan pernah bisa menyebutkan semua hal (tanpa terkecuali) tentang dirinya sendiri.
Prinsip berpikir di dunia menurut Emmanuel Kant ada 2, yaitu:
1.      Prinsip kontradiksi, predikat tidak akan pernah sama dengan subjeknya.
Contoh: Rambut hitam, bahwa hitam tidak akan pernah sama dengan rambut, melainkan hitam adalah predikat dari rambut (subjek). Maka secara filsafat, sebenar-benar hidup adalah interaksi antara wadah dan isi.
2.      Prinsip hukum identitas, ilmu filsafat berbeda dengan ilmu matematika, yang berarti a ≠ a, karena a yang pertama lebih dahulu diucapkan dan terletak berada di depan ketimbang a yang kedua, sehingga dikatakan ruang dan waktu antara keduanya berbeda, oleh sebab peduli akan ruang dan waktunya.
Dalam filsafat, membicarakan terkait matematika hanya ada 2, yaitu: aritmatika (waktu) dan geometri (ruang), yang lainnya adalah sebagai variasi/kombinasi dari kedua komponen tersebut.
Alat berfilsafat adalah bahasa analog, bahasa analog ialah lebih lembut, halus, atau bisa dikatakan mendasar dari pada bahasa kiasan. Jika dalam hati maka dapat bermakna spiritualitas, jadi jarak antara pikiran dan hati adalah jarak antara dunia dan akhirat, seperti itu halnya dengan berbahasa analog. Adapun cara memelajari filsafat adalah dengan metode hidup, metode hidup artinya adanya interaksi di dalamnya, metode yang sunnatullah, dengan cara metode hidup maka memelajari semua hal pengetahuan itu secara lembut, tidak terasa transfer pengetahuannya, jauh dari stres, tanpa disadari pengetahuan itu sudah dimilikinya, dan seharusnya memelajari semua hal ilmu pengetahuan adalah dengan metode hidup.
Bebicara mengenai tokoh dalam filsafat, Realisme (realizm) murni maka hal yang tidak ia lihat, dengar, sentuh adalah tidak ada, dengan tokohnya Aristoteles. Sedangkan Idealisme (idealizm) menganggap ada walau hanya dalam pikiran (masih teringat dengan jelas kejadian yang telah berlalu, dengan tokohnya adalah Plato. Kedua-duanya merupakan bagian penting di dalam kehidupan sehari-hari, dari cara berpikir anak kecil hingga orang dewasa. Hal demikian dapat dikaitkan dalam dunia pembelajaran, karena ketika guru tidak tepat dalam memilih metode berpikir pada siswanya, tidak paham karakteristik muridnya itulah sebenar-benar musuh filsafat. Disini letak pentingnya memelajari filsafat, agar dapat memosisikan bersikap, baik terhadap diri sendiri, orang lain, bahkan Allah SWT secara tepat.
Allah SWT berfirman dan secara berulang-ulang sebanyak 31 kali ayat ini difirmankan dalam surat Ar Rahman (Yang Maha Pemurah), sebagai peringatan yang diulang-ulang: “FABIAYYI ALAA IROBBIKUMAA TUKADZDZIBAAN” yang artinya: “Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?”. Semoga dari materi yang disampaikan oleh Bpk Prof. Marsigit, MA ini dapat menjadi bahan refleksi bagi diri kita sebagai seorang yang pandai bersyukur. 

Amiiin, amiiin yaa Rabbal ‘aalamiin

0 komentar:

Posting Komentar