Filsafat
ilmu adalah olah pikir, sumber-sumber yang dipikir itu apa saja? bagaimana
pembenarannya? bagaimana logikanya? apa saja cakupannya? apa objeknya? apa
metodologinya? Bagaimana tatacaranya? Etik dan estetikanya? Kemudian menurut
siapa, kapan, dan dimana?
Membicarakan
filsafat ilmu berarti juga membicarakan filsafat, filsafat mencakup 3 aspek,
yaitu ontologi, epistimologi, dan estetika. Ontologi adalah aspek yang
membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan (wujud), adapun yang dibahas
dalam ontologi adalah hakikat realitas. Aspek yang kedua adalah epistimologi,
epistimologi yaitu studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui
benda-benda, atau epistimologi bisa dikatakan metodologinya. Aspek yang
terakhir adalah estetika atau aksiologi, yaitu suatu bidang yang mempelajari
nilai, atau melihat kepantasan benar atau salahnya, baik atau buruknya. Filsafat
ilmu lebih cenderung ke ranah epistimologi atau yang bisa disebut
metodologinya. Namun tidaklah dalam mempelajari ilmu tersebut bisa
dipisah-pisahkan salah satunya, dengan artian ketika mempelajari ilmu tersebut
(satu sub komponen) maka dengan sendirinya mempelajari yang lain, oleh sebabnya
ilmu antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Pun hal tersebut berlaku
dalam mempelajari filsafat, ketika mempelajari filsafat ilmu, maka garis
besarnya adalah filsafat, yang secara wajib juga mempelajari filsafat.
Filsafat ilmu sebagai olah pikir, maka
jangan sampai orang berfikir seperti main layang-layang, seperti penggalan
puisi berikut:
Terbang jauh bergoyang-goyang
Tertiuplah angin putuslah benang
aa...aah dikejar sampai pulau seberang
pupus sudah hilang harapan.
Adapun aspek-aspek dalam filsafat dari
yang paling keras (perangkat keras) sampai dengan yang paling lunak (perangkat
lunak), atau bisa dikatakan dari tingkatan yang paling bawah hingga yang paling
atas. Perangkat lunak tersebut jika diperlunak lagi maka menjadi spiritual,
bahkan lunaknya spiritual bisa menjadi keikhlasan, sampai-sampai diri sendiri
tidak mengetahui/ tidak dapat membedakan antara ikhlas atau tidak, dan yang
mengetahui isi hati kita hanyalah Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Oleh karenanya
setinggi ilmu adalah spiritual yaitu dalam filsafat adalah mengembarakan
pikiran (mendapatkan ide-ide dalam pikiran), hal tersebut dibutuhkan
batasan-batasannya yaitu spiritualitasnya masing-masing sesuai dengan agamanya
masing-masing dan hal ini adalah pokok. Jadi, mengkokohkan spiritualitas dalam
diri sebelum mempelajari filsafat.
Dengan belajar filsafat maka sekaligus
mematangkan aspek psikologi yang meliputi kesabaran, ketekunan, keuletan, daya
juang, dsb (dari diri sendiri). Aspek psikologi berikutnya adalah psikologi
belajar orang dewasa, yaitu berani bertanggungjawab atas perbuatannya. Dalam psikologi
keilmuan, psikologi belajar, pedagogik atau sebagainya yaitu yang namanya “belajar
adalah membangun”, itulah paradigma belajar yang inovatif. Belajar itu adalah
bagian dari kehidupan, pendidikan adalah bagian dari kehidupan, maka pendidikan
dan belajar tidak lain tidak bukan adalah suatu kehidupan. Mengapa dikatakan bagian
dari kehidupan? Karena dalam prosesnya ada awal juga ada akhir. Konsepnya belajar
adalah dimanapun berada, kapanpun dan terus menerus, adanya sifat konsisten. Dengan
membaca dan merefleksikan terhadap apa-apa yang dibaca maka itu yang dinamakan
belajar, belajar ari apapun, tekstual maupun kontekstual, dari buku maupun dari
fenomena alam dsb. Tiada filsafat tanpa membaca, dan ketika sudah memiliki
bekal ilmu maka dapat dengan membaca fenomena alam, karena tulisan-tulisan yang
ada di buku, komputer dan lainnya hanya bersifat terbatas, laboratoriumnya
filsafat pun adalah alam semesta dan akhirat. Aktifitas membaca tersebut dengan
adanya refleksi di akhir adalah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya,
dan setinggi-tinggi berpikir/ berpikir tingkat tinggi adalah refleksi, yaitu
dengan merefleksikan apa-apa yang dibaca.
0 komentar:
Posting Komentar