ali.maskur388@gmail.com

Minggu, 01 November 2015

Bagaimana Cara Filsafat Memaknai Hidup?

Bismillahirrahmanirahiim
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuhu

Pertemuan ke-3 ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 22 September 2015, pukul 11.10 WIB s.d 12.50 WIB di ruang 305B gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi S2 Pendidikan Matematika kelas A untuk mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Bpk. Prof. Marsigit, MA. Pada pertemuan kali ini, sistem perkuliahan menggunakan sistem tanya jawab
Pada perkuliahan kali ini, diawali dengan pertanyaan secara lisan dari bu Retno Kusumadewi, beliau menanyakan: “Menurut sudut pandang filsafat memahami tentang kehidupan, kenapa kok kira-kira siswa sekarang ini cenderung memilih hal yang mudah? Mudah disini maksudnya inginnya segala sesuatu itu yang instan, terima kasih bpk marsigit”.
Dari uraian pertanyaan di atas yang telah disampaikan, bpk Marsigit lalu menjawab terkait pertanyaan yang disampaikan di atas: “Jadi begini bu, ibu meluncurnya terlalu tajam, dari filsafat langsung ke siswa, tetapi selain meluncur terlalu tajam ada suatu pantulan yang menarik yaitu budaya instan, anda semua perlu membaca di academia edu mengenai narasi besar ideology dan politik pendidikan dunia, itu saya uraikan persis dari jaman Yunani sampai jaman sekarang, sehingga kita bisa mengetahui alasan dan sebab-sebab adanya budaya instan, ceritanya panjang dan disamping dengan cerita panjang itu juga memerlukan pengetahuan-pengetahuan lain. Dan uraian saya tidak membosankan karena disajikan dalam bentuk powerpoint, sehingga dapat dibaca sekilas saja, dan diulangi kembali sehingga bisa menyimpulkan poin-poinnya, ratusan ribu orang yang membacanya, intisarinya sebenarnya merupakan atmosfernya, kurun waktunya memang sampai pada kehidupan saat ini”.
Lalu beliau menambah penjelasannya lagi: “kalau memang ada yang mudah lalu kenapa musti cari yang sulit, kalau ini menjadi tesis maka akan ada antitesisnya. Antitesisnya aku buat begini, kalau bisa mengerjakan yang sulit lalu kenapa cari yang mudah, didengar tak begitu jelas diucapkan begitu gampang, tapi dalam pelaksanaannya begitu sangat sulit, dan jika tak percaya maka silakan uji  diri anda dari 2 kalimat itu (tesis dan antitesisnya), dan andai kata anda laksanakan maka dampaknya adalah seluas dunia akhirat, karena secara psikologi antara kalimat yang pertama atau diletakkan disebelah kiri: Kalau ada yang mudah lalukenapa cari yang sulit, kalau bisa dipermudah lalu kenapa dipersulit , dan kalimat kedua sebagai antitesisnya (di sebelah kanan): Kalau bisa mengerjakan yang sulit lalu kenapa mencariyang mudah, sudah terlihat berbeda. Bila dilihat dari keadaanya dan dari segi pelakunya yang sebelah kiri didapatkan: tidak mau berjuang, nyaman di zona aman, tidak ingin meningkatkan diri, bersifat santai, gampang menyerah, tidak ingin berkembang, motivasi kurang, tidak bekerja keras, tidak cerdas, bodoh, pemalas, dsb, dari yang disebutkan itu adalah termasuk juga memilih cara yang singkat, dan cenderung ingin yang serba instan, dan tak akan pernah mampu menghitung sifat-sifat dari tesis tersebut, karena yang dibicarakan ini adalah dunia, yaitu dunianya si dia yang cenderung memilih serba instan. Adapun antitesisnya (lawannya yang berada di sebalah kanan) didapatkan: memiliki kreativitas, cerdas, pekerja keras, ulet, suka tantangan, pendirian kuat, ingin berkembang, rasa ingin tahu yang tinggi, tekad yang tinggi, motivasi yang tinggi, dsb. Jadi, hidup itu adalah suatu interaksi antara yang pertama dengan yang kedua, dan hidup yang menuju lebih baik adalah ketika gejala yang pertama menuju yang kedua”.
Melanjut ke pertanyaan yang kedua dari saudara Heru Tri Novi Rizky yang menanyakan berikut: “Bagaimana tanggapan filsafat tentang pendapat ilham nokhen terkait penciptaan alam ini dalam konsep ada dan tiada?”.
Dari penyampaian pertanyaan kedua di atas, bapak Marsigit menjawab dengan menjelaskan sebagai berikut: “pertanyaan yang disampaikan di atas mempunyai maksud yang sama dengan bagaimana pandangan agama tentang makhluk pertama yaitu manusia, dan seperti teori Darwin yaitu nenek moyang manusia itu adalah binatang (monyet). Sementara orang beragama percaya bahwa nenek moyang manusia itu adalah manusia juga, yaitu nabi Adam AS. Darwin membuat teori evolusi, hukum sebab akibat, bahwasanya jika manusia itu setiap pagi belajar terbang selama hidupnya dengan dilakukan secara terus menerus dan begitupun anaknya yang melakukan hal serupa dengan belajar terbang dalam kurun waktu yang lama dengan bermilyar-milyar keturunan diharapkan suatu ketika manusia bisa terbang (berpotensi terbang), inilah yang dinamakan teori pengembangan potensi diri, yang disebut oleh Immanuel Kant sebagai Teleologi, yang mana segala macam perkembangan masa depan dikatagorikan ke dalam Teleologi. Jadi, teori evolusi ini dasarnya adalah filsafat bahwa segala sesuatu mengalami perubahan dan tidak ada di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Pendapat yang demikian adalah sebagian/salah satu sisi dunia, sisi lain dari dunia ini berpendapat bahwa sesuatu itu bersifat tetap dan tiadalah sesuatupun di dunia ini yang tidak bersifat tetap. Dari kedua pendapat di atas pun masing-masing memiliki tokoh-tokohnya, sisi dunia yang berpendapat bahwa sesuatu di dunia ini bersifat tetap ditokohi Permenides, dan sisi seberang yang berpendapat sesuatu itu bersifat berubah ditokohi Heraklietos. Dan ternyata hidup dalam kacamata filsafat adalah interaksi antar kedua sisi tersebut, antara yang tetap dan yang berubah, maka hidup pun dalam filsafat dapat didefinisikan sebanyak yang ada dan yang mungkin ada.
Bapak Marsigit pun menambahkan penjelasannya di atas “Jikalau dalam kacamata filsafat terkait suatu interaksi yang tetap dengan yang berubah, pandangan yang tetap itu seperti cintaku tetap kepada istriku, keyakinanku tetap kepada-Mu Engkau wahai Tuhanku dan sejak aku lahir sampai matipun begitu dan tidak akan mengalami perubahan, sebelum dan sesudah dunia kiamat tetap saja aku adalah sebagai makhluk (ciptaan Tuhan). Jadi, dalam diri ini ada 2 unsur yang tetap dan yang berubah. Hal yang demikian berkaitan dengan mengidentifikasi objek-objek filsafat, objek-objeknya yang terdiri dari yang ada dan yang mungkin ada yang memiliki jumlah tak hingga sehingga belum mampu mengidentifikasi sifat-sifatnya. Dari sifat-sifat yang ada dan yang mungkin ada, terpenting adalah bahwa ia memiliki sifat tetap dan sifat berubah, yang mana hidup itu tetap di dalam perubahan, dan berubah di dalam ketetapan. Itulah sebenar-benarnya hidup, mengapa demikian? Kalau tidak hidup berarti tetap dalam ketetapan, dengan contoh realnya: “walau aku jadi istrimu, aku masih teringat dengan pacar-pacarku yang dulu”. Tiadalah hidup jika berprinsip yang demikian karena terjadinya kerusakan dalam kehidupan, disinilah letak pentingnya manusia mengalami perubahan sehingga menunjukkan pentingnya memiliki sifat lupa. Di dalam filsafat tidak mengenal antara yang benar dan yang salah, melainkan lebih tepatnya adalah tidak sesuai dengan ruang dan waktunya, dan dalam tingkat spiritual suatu kebenaran bersifat absolut, bahwa agam itu dogma, suatu kebulatan dan pure yang harus dilaksanakan, kitab suci yang tidak bisa diotak-atik karena sebuah ketetapan dari sang Illahi, selama ini pernahkah mendengar Al Qur’an diamandemenkan? tidak! Melainkan yang diamandemen itu seperti UUD dsb. Demikian Al Qur’an itu adalah dogma secara absolut dan harus dilaksanakan dan diyakini bahwa manusia memiliki nenek moyang yaitu Nabi Adam AS.
Penjelasan dari bapak Marsigit di atas dapat dipahami bahwa silakan saja seseorang membuat teori-teori dalam hidup, namun yang perlu digarisbawahi bahwa teori hanyalah teori, teori berbeda dengan hukum, teori tidak dapat secara mutlak dikatakan benar, teori dapat dikatakan sebagai hipotesis, namun hukum adalah sebuah ketetapan dan telah terbukti kebenarannya. Dogma agama lah yang bersifat absolut, yang wajib hukumnya untuk diyakini, dipatuhi, dan dilaksanakan. Ada pelajaran dari kehidupan/kebiasaan orang timur dan barat yang menarik kita cermati, bahwa dalam kehidupan orang timur yang didominasi oleh agama kebiasaan berpikir final, sedangkan dalam kehidupan orang barat yang lebih mengandalkan pikiran kebiasaan berpikir terbuka, terbuka di belakang atau open di bagian ended, maka ada pembelajaran open-ended dengan metodenya adalah saintifik (scientific). Jadi, antara timur dan barat memiliki kultur dan budaya yang berbeda. Dimana secara agama, suatu dogma dan ketentuannya harus diakui dan diyakini, kalau meyakini Tuhan harus dengan sepenuh hati (ikhlas) dengan keyakinan yang hakiki, maka dalam dogma agama, suatu pikiran bukan jaminan seseorang dapat menemukan Tuhannya karena agama tidak hanya melibatkan pikiran, melainkan lebih dari itu membutuhkan spiritualitas yang berkaitan dengan hati. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Ghazali Rahiimahullah Ta’ala: “Jika engkau ingin bertemu Tuhanmu, jangan kau pikirkan tapi kerjakanlah”. Kutipan di atas oleh filsafat timur dikenal dengan ontologi gerak, ketika seseorang ingin menemukan Tuhannya maka kerjakanlah dengan “yang katolik/kristen ke gereja, yang Islam ke masjid” shalatlah dengan shalat dapat mendekatkan daa’i/abid (orang yang beribadah)  kepada sang Khaliq Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT yang termaktub dalam Al Qur’an surat Al Baqarah (2): 186 sebagai berikut: “Dan Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka katakanlah sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka memenuhi (panggilan/perintah)Ku, dan beriman kepadaKu agar mereka mendapat petunjuk (bimbingan)”. Kedekatan Allah dengan hambaNya dalam ayat di atas merupakan kedekatan yang sinergis, kedekatan yang aplikatif karena kedekatan ini terkait erat dengan doa dan amal shalih yang berhasil ditunjukkan oleh seorang hamba.
Dan dalam firman Allah SWT di ayat lain QS. Qaff: 16-17 berikut: Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri”. Dari QS. Qaff tersebut: “dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” adalah para malaikat Allah SWT lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Dan barangsiapa yang menakwilkannya atas dasar ilmu maka dia akan menghindar agar tidak terjadi penyatuan antara keduanya (hulul/ittihad), dan hal itu tertolak berdasarkan ijma’, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah SWT. Namun lafazh tidaklah menunjukkan yang demikian karena Allah SWT tidak mengatakan ”dan Aku lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” akan tetapi Allah SWT berfirman ”dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”. Sebagaimana disebutkan didalam ”al Muhtadhor” bahwa makna dari penggalan firman Allah SWT: ”Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat” (QS. Al Waqi’ah:85) yaitu malaikat-Nya, sebagaimana firman Allah SWT : ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijr:85) yaitu malaikat turun dengan membawa Al Qur’an dengan izin Allah SWT. Begitu pula dengan malaikat lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya dengan kekuasaan Allah terhadap mereka. (Tafsir al Qur’an al Adzim juz VII hal 398)
Sedangkan makna ”ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri” yaitu Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya saat kedua malaikat mencatat amalnya. Artinya bahwa Kami lebih mengetahui tentang keadaannya dan Kami tidak memerlukan malaikat pemberitahu akan tetapi kedua malaikat itu ditugaskan untuk suatu keperluan sebagai penegasan perintah.
Dunia Timur dan Barat ada perbedaan nilai bijaksana, bijaksananya dunia barat dalam keadaan masyarakat yang terbuka. Dalam dunia barat, maka orang-orang yang masuk kategori bijaksana yaitu orang-orang yang menuntut ilmu, sedangka menurut versi Timur karena masyarakatnya sudah tertutup maka yang dikatakan/masuk kategori bijaksana adalah orang yang memberi ilmu. Maka tidaklah hal mudah menjadi pejabat di negeri Timur dengan tnggung jawab menyejahterakan rakyatnya dan bila perlu dengan memberi, menombok karena nilai kebijakan di dunia Timur harus mampu memberi, hal demikian yang secara linier berdampak pula dalam sisi negatif yaitu maraknya korupsi di dunia Timur.
Ada hal menarik yang dikisahkan oleh bapak Marsigit tentang pengalaman beliau ketika mengajar di Strata 1 (S1), beliau mengajak seorang profesor matematika dari salah satu perguruan tinggi terkenal di Amerika untuk mengikuti kelas dimana beliau mengajar, setelah proses mengajar selesai profesor tersebut bertanya dengan heran kepada bapak Marsigit: “Mr. Marsigit, mengapa pada saat anda mengajar matematika anda memulainya dengan berdo’a? Lalu apa korelasinya antara matematika dengan do’a?”. Mendengar pertanyaan yang diajukan profesor tersebut kepada bapak Marsigit, beliau sontak agak kaget dan beliau pun mengajukan pertanyaan balik kepada profesor tersebut: “Apakah anda tidak percaya dengan Tuhan?” dengan singkatnya profesor tersebut menjawab: “Belum, karena saya tidak tahu”. Bapak Marsigit pun menemukan keganjilan dari jawaban tersebut, dengan umur profesor itu yang telah menginjak 60 tahun tapi mirisnya belum mengenal Tuhan sehingga ia belum percaya. Profesor itu lantas menambahkan jawabannya: “Saya berusaha melakukan kegiatan setelah saya memahaminya”. Dari sini lah ditemukan ketidakkonsistenan pada diri profesor tersebut, bapak Marsigit mengajukan pertanyaan kembali: “Wahai Prof, engkau datang kesini apa sudah tahu dan terencanakan aka bertemu dengan saya?”. Profesor tersebut menjawab: “tidak!”. Lanjut bapak Marsigit menyatakan: “berarti perkataan Anda tidak konsisten, kenapa anda datang kesini padahal anda tidak mengetahui dan merencanakan sebelumnya untuk bertemu dengan saya?”. Dari sebuah kejadian nyata dan sekaligus sebagai contoh di atas bahwa berpikir itu mudah sekali jikalau ingin tidak konsisten seperti itu. Bahwa ketika hamba ingin mengetahui keberadaan Tuhannya maka tidaklah cukup hanya sebatas pikiran saja, melainkan dengan melibatkan hati, karena ini adalah ranahnya hati, kasusnya mengenai feeling, hanya hati yang bisa memahami dan merasakan ada-Nya.
Kuliah ini masih berlanjut ke penanya berikutnya, pertanyaan ketiga yang diajukan dari saudara Ricky Antonius L berikut: “Menanggapi pernyataan yang tadi, bahwa agama merupakan suatu dogma yang kita terima secara utuh, seperti halnya ilmu fisika yang mana ilmu fisika dapat dibuktikan. Dalam teori evolusi Darwin belum ada bukti yang bisa diterima akan tetapi mengapa disa dipublikasikan seperti itu, mohon penjelasannya?”.
Bapak Marsigit menanggapi pertanyaan di atas berikut ini: “yang pertama sebuah teori bisa dikenal itu karena ditulis dan ada buku yang menjadi rujukan, yang kedua karena dipublikasikan, ketiga karena adanya sponsor dan dihidup-hidupkan, selanjutnya karena memang ada manfaatnya. Ketika kita berpikir tentang teori big bang, hal ini (teori) memiliki manfaat akan tetapi pada tahap-tahap tertentu saja, yang mana membuat orang menjadi berpikir liar tak terkendali bahwa terbentuknya alam semesta ini sama sekali tidak adanya campur tangan Tuhan, tentu semacam ini dari sisi spiritual merupakan kesombongan yang luar biasa. Akhirnya ketinggian ilmu dipergunakan untuk menyombongkan diri, padahal yang perlu digarisbawahi bagaimanapun kita tetaplah sebagai manusia (makhluk), sehebat-hebat apapun kita tetap saja manusia. Agar dalam belajar filsafat ini sesuai dengan koridornya, maka tetapkan hati kita kalau sudah menyentuh seperti itu ya cukup sebagai pengetahuan saja bukan sebagai sesuatu yang harus diyakini, karena itu sudah merubah dunia, begitu kita yakin dan percaya akan hal itu, maka yang lain akan tereliminasi. Sama halnya ketika kita membuka tabir siang, maka tabir malam pun tereliminasi dengan sendirinya”.
Penting dan harus diingat bahwa kita hidup ada koridor-koridornya, ada batasan-batasannya, ketika itu menjadi sebuah hukum maka kita patuhi dan dengan sendirinya kita pergunakan, lain halnya ketika itu sebagai sebuah teori maka adanya tahap-tahap yang bermanfaat yang bisa kita ambil, dan sisi yang tidak sesuai dengan keyakinan dianggap sebagai sebuah pengetahuan saja. Dalam ilmu fisika, tidak pernah ditemukan teori Archimedes, melainkan sudah menjadi sebuah hukum/prinsip yakni hukum/prinsip Archimedes, yang secara tidak langsung kita yakini dan pergunakan manfaatnya dalam sistem pembuatan kapal. Tidak pernah sekalipun teori Darwin berubah menjadi suatu Hukum, demikian karena teori hanya berhenti di hipotesis, belum terbukti secara fakta, sedangkan hukum sudah teruji kebenarannya yang merupakan fakta.
Ada lagi hal menarik yang diceritakan oleh bapak Marsigit: “Saya pernah ke Thailand dengan pejabat, namun pejabat ini agak sedikit fatal, si A: “pak, laptopnya disimpan di tempat (sembari menunjuk tempat dimana si B berada) atau dibawa?” Si B menjawab: “Kalau nasibnya hilang ya hilang kalau tidak ya tidak”. Lalu si B menanggapinya: “kalau orang pemikirannya beda dengan bapak gimana? Nanti kalau hilang beneran gimana?” si B ragu dengan pernyataannya tadi: “iya ya”. Dari sedikit cerita di atas, orang di dunia yang sifatnya plural namun bersifat tunggal dalam filsafat dinamakan fatal, konteksnya akherat, itulah kaum fatal yang hidupnya 100% digantungkan pada takdir. Urusan akhirat fatal, urusan dunia fital, ternyata sulit untuk mendefinisikan hidup, bahwa sebenar-benarnya hidup adalah interaksi dinamik antara fatal dan fital. Berikhtiarlah seakan-akan engkau masih hidup seribu tahun lagi, berdo’alah seakan-akan engkau mati esok. Demikian sebagaimana dalam hadits walau secara marfu’ tidak shahih (termasuk hadis dha’if/lemah) namun ada pelajaran (ibroh) yang dapat diambil: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati esok”.
Masih berlanjut kuliah tanya jawab ini, dengan penanya keempat dari saudari Ulin yang menanyakan berikut:”Berkaitan dengan takdir-takdir, ada takdir yang memang sudah ditetapkan oleh Allah SWT, salah satunya kematian, cara datangnya kematian itu berbeda-beda pak, ada yang bunuh diri, ada yang dibunuh, ada pula yang kecelakaan dan lain sebagainya. Yang ingin saya tanyakan mengenai bunuh diri pak, kalau orang yang melakukan bunuh diri itu apakah sudah ketetapan dari Tuhan? Kalau memang sudah suatu ketetapan dari Tuhan, dalam Islam bunuh diri itu termasuk kategori dosa pak, apakah amal-amalnya sia-sia pak?”.
Bapak Marsigit pun menanggapi pertanyaan di atas: “Cara pandang itu berdimensi maka yang dipandang pun berdimensi itulah filsafat, kemudian diinteraksikan dan dari sisi spiritual jelas tadi anda sudah katakan bahwa bunuh diri itu masuk kategori dosa, namun cara pandang kita bukan seperti itu ketika berfilsafat. Dalam filsafat, takdir adalah sesuatu yang sudah terjadi, karena itu merupakan pikiran manusia. Kalau dinaikkan sedikit ke ranah spiritual, maka takdir itu bukan yang sudah terjadi saja akan tetapi yang akan terjadi pun dinamakan takdir (konteks fatal). Sekarang kata-katanya dibalik, pasti benar bahwa yang telah terjadi itu dapat dikatakan takdir, dan lebih baik saya katakan pernyataan yang kedua dari pada pernyataan yang pertama, pernyataan keduanya berikut: hal-hal yang telah terjadi sudah pasti takdirnya, maka yang belum terjadi masih bisa diikhtiarkan. Hubungan pernyataan tersebut dengan fatal dan fital yaitu takdir sebagai fatalnya dan ikhtiar sebagai fitalnya, manusia diciptakan memiliki potensi untuk berikhtiar dan kehidupannya pun tak lepas dari takdir, namun tidak bisa anda berikhtiar untuk menentukan hidup anda atau anak anda esok, dengan misal anda membuat proposal anak anda esok lahir dengan berjenis kelamin laki-laki, dengan tampang sekian, berat segini, proposal itu diajukan kepada Tuhan, coba saja apakah sesuai dengan selera anda atau tidak. Yakinlah bahwa Allah SWT akan membuat sesuai dengan kehendak-Nya dan yang terbaik menurut-Nya, bahwa hidup itu adalah pilihan tapi yang memilih itu adalah Tuhan (Allah SWT), karena kita tidak bisa memilih kita dilahirkan dari rahim siapa. 3 perkara yang pokok yaitu lahir, jodoh, dan kematian, oleh karenanya jangan sekali-kali bermain-main tentang jodoh, dan barangsiapa yang melakukan demikian maka ia akan menderita kesediahn seperti setara dengan menghadapi kematian”.
Pikiran ini pada dasarnya bersifat paralel, begitu banyaknya yang ingin diucapkan bahkan sudah ingin diluapkan dalam perkataan, akan tetapi mulut bersifat seri yang mana satu persatu kalimat saling bergantian diluapkan/dikeluarkan. Hal yang demikian dapat dikatakan bahwa manusia hidup karena tidak sempurna. Menariknya sebenar-benar hidup adalah pilihan, sungguh manusia tidak perah berperilaku adil dengan tidak pernah bisa melihat ke belakang karena matanya yang hanya terletak di depan. Maka manusia itu terpilih, dalam filsafat dikenal sebagai aliran Reduksionisme, yang mana manusia itu terpilih atau dipilih, penglihatannya, nafasnya, hidupnya semua dipilih. Sehingga manusia dapat dikatakan hidup karena pilihan.
Semakin menarik kuliah tanya jawab ini dengan berbagai pertanyaan yang diajukan lagi, pertanyaan berikutnya diutarakan oleh saudara Ricky: “Tadi bapak mengatakan bahwa istri bapak cuma satu dipikiran bapak, bagaimana dengan yang berpoligami? Apakah istrinya cuma saja dipikirannya dan yang lain menjadi contoh atau sudah berganti lebih banyak lagi pak?”
Bapak Marsigit pun langsung menanggapi pertanyaan di atas dengan penjelasan yang singkat dan mengena, “dari sisi filsafat itu terletak pada level pemahaman tadi, dari mana aku mau mengklaim yang satu itu, kalau aku naikkan yang satu itu istri dan diturunkan bahwa 4 istri itu sebagai contoh, tapi tetaplah saja dalam pikiranku istri cuma 1 sebagai wadah, sedangkan keempatnya itu sebagai isi, itulah level pemahaman, dimensi berpikir, dan dimensi hidupnya. Hidup ini memang berlevel, namun kalau sudah sampai ke bawah (istri kesatu, kedua, ketiga, dan keempat) itu sudah masuk ke dalam aspek psikologis, dan hal ini bergantung pada masing-masing psikologis orang yang mengalaminya”.
Petanyaan selanjutnya dari saudari Azmi: “Pak, apakah filsafat itu bertentangan dengan motivator? Tadikan kata bapak kalau segala sesuatu yang terjadi sudah ditetapkan oleh Tuhan, sedangkan motivator itu punya target untuk berubah dan menuju kesempurnaan”.
Penjelasan bapak Marsigit terkait pertanyaan di atas berikut:”Segala sesuatu itu berpasanga-pasangan dan selalu mencari jodohnya, setiap yang ada dan yang mungkin ada itu sebagai tesis, dan selain yang ada satu itu merupakan anti tesisnya. Dalam agama semua ketetapan yang telah diatur merupakan tesis, sedangkan anti tesisnya merupakan ikhtiar. Tesisnya takdir (fatal) maka anti tesisnya adalah fital, tesisnya fatal maka anti tesisnya adalah potensi, sehingga motivator itu mengembangkan potensi supaya manusia memiliki potensi, dan sebenar-benarnya hidup adalah berkembang menjadi suatu potensi dari ada menjadi pengada melalui mengada. Maka segala sesuatu yang berubah diikhtiarkan semua ke atas, disinilah letaknya keikhlasan. Tiadalah perubahan terjadi tanpa adanya keikhlasan, kalau kita lihat di ruangan ini didapati bermilyar-milyar keikhlasan, dengan terjadinya kaca dan tembok yang sempurna berasal dari bahan mentah hingga melalui proses pembuatannya itu yang disebut sebagai keikhlasan. Jadi, namanya keikhlasan adalah terwujudnya pengada (wadah) dari adanya ia melalui mengada (ikhtiar), selaras dan terangkum yang demikian itu dinamakan motivator. Lalu apa bedanya motivator dan filosofer? Kalau motivator itu sudah turun sedikit kemudian datar untuk kntroll dan kendali. Sedang, apa bedanya filosofer dengan psikologi? Sama, seorang filosofer itu duduk di lobi dan melakukan refleksi, dia tidak melihat gang-gang sempit yang didalamnya ada psikologi, matematika, dan ilmu-ilmu lainnya (bercabang)”
Pada akhir perkuliahan ini diakhiri dengan pertanyaan terakhir dari saudari Fitri: “bagaimana cara mensinergikan apa yang ada di hati dan pikiran sehingga tidak menimbulkan penyesalan dan kontradiksi-kontradiksi terhadap apa yang telah kita lakukan?”.
Penjelasan dari bapak Marsigit sekaligus penutup perkuliahan kali ini berikut: “yang ditemukan oleh Emmanuel Kant, isi bisa sekaligus menjadi wadah, akan tetapi isi tidak sama dengan wadahnya. Sebagai contoh: rambutnya berwarna hitam, itu yang disebut sebagai kontradiksi dalam filsafat, bahwa hidup itu penuh dengan kontradiksi. Prinsip yang kedua adalah prinsip identitas, A itu sama dengan A yang hanya terjadi di dalam pikiran, karena pikiran sudah terbebas dari ruang dan waktu. Selagi dia diucapkan maka A yang pertama aku sebut dengan A yang kedua aku sebut, A yang kurus dengan A yang gemuk, maka disimpulkan dalam kehidupan tidak ada A sama dengan A. Matematika yang selama ini dipelajari hanya sebatas dalam pikiran saja. Padahal dunia anak adalah dunia di luar pikiran, oleh karenanya manusia diwarnai dengan kontradiksi-kontradiksi, seperti halnya saya bisa makan, minum, dan bernapas itu semua karena hasil dari kontradiksi antara oksigen dan darah merah. Demikian dengan kontradiksi inilah kita bisa hidup, sehingga manusia tidak pernah bisa menghindar dari kontradiksi. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana cara kita mengidentifikasi kontradiksi seperti apa? Mana yang produktif dan mana yang kontra produktif? Selanjutnya, kedudukan kontradiksi ada dimana? Isi atau wadah bagian mana yang mengalami kontradiksi? Semakin rendah posisi semakin ia ada di dalam predikat maka semakin tinggi ia mengalami kontradiksinya, dan semakin tinggi  posisinya maka semakin kecil pula kontradiksinya, hanya kekuasaan Tuhan yang bersifat absolut dan tidak ada kontradiksi di dalamnya. Hanyalah manusia yang mengenal kontradiksi, manusia siapa yang dimaksud? Bagi adikmu, kamu sama sekali tidak memiliki kontradiksi dalam hidupmu, sedangkan sebaliknya bagi dirimu, adikmu itu penuh dengan kontradiksi dalam kehidupannya, adikmu menjadikanmu sebagai seseorang yang patu dicontoh, maka adikmu adalah salah satu isinya. Silakan perbesar kontradiksi anda akan tetapi jangan sampai sekalipun turun ke dalam hati karena jika kontradiksi ke ranah hati maka itu adalah syaitan, dan satu-satunya cara untuk terhindar dari yang demikian adalah dengan do’a kepada sang pemilik hati, sebagaimana sebuah do’a  yang bersumber dari yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi: “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu”. Kemudian sesuai dengan yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 7 sebagai berikut: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau lah yang Maha Pemberi (karunia)”.
Begitu intensnya filsafat dalam memandang, memahami, dan meletakkan semua hal tentang kehidupan ini, semata-mata untuk mengartikan kehidupan yang lebih bermakna. Dengan membaca, tak terasa kita telah belajar berfilsafat, lebih banyak berpikir, karena ada maka layak menjadi pengada melalui mengada. Demikian refleksi ini semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bish shoab.

Sources:     Tafsir Al Qur’an Al Adzim Juz VII
Sigit Pranowo, Lc. Fiqh Kontemporer 100 Solusi Masalah Kehidupan.

Silsilah Al Ahadits Ad Dhoifah

0 komentar:

Posting Komentar