ali.maskur388@gmail.com

Senin, 18 Januari 2016

REFLEKSI KE-7

MEMAHAMI DIMENSI HIDUP DARI SEGI FILSAFAT

Bismillahirrahmanirahiim
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuhu

Pertemuan ke-7 ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 27 oktober 2015, pukul 11.10 WIB s.d 12.50 WIB di ruang 305B gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi S2 Pendidikan Matematika kelas A untuk mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Bpk. Prof. Marsigit, MA. Pada pertemuan kali ini, sistem perkuliahan terbagi menjadi 2 bentuk. Perkuliahan ini diawali dengan tes jawab singkat yang terdiri dari 50 pertanyaan. Selanjutnya perkuliahan ini diadakan tanya jawab terkait ruang dan waktu dalam filsafat.
Tanya jawab pada kesempatan ini diawali dengan arahan dari Prof. Marsigit, beliau mengingatkan untuk kita sama-sama meningkatkan bacaan, dan dari bacaan itulah yang akan meningkatkan taraf berpikir kita, karena sesungguhnya antara pikiran mahasiswa dengan beliau adalah saling isomorfis, dan setiap pikiran pasti saling berisomorfis dengan lingkungannya atau bahkan dunianya. Sehingga setiap manusia hanya mampu mengatakan apa yang ia pikirkan dalam keadaan sadar, lain halnya dengan orang dalam kondisi mabuk karena orang mabuk tidak akan mengerti apa-apa terkait yang dikatakannya. Demikian, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan, ilmu, pengetahuan seseorang dapat terlihat dari bagaimana cara ia berbicara, bagaimana cara ia memandang, dan berpendapat.
Selanjutnya, perkuliahan tanya jawab ini diawali dengan pertanyaan dari saudari Azmi: “berkaitan dengan tes yang tadi, untuk beberapa tes ini nilai saya dapat dikatakan memprihatinkan. Berpikir saja saya salah apalagi tidak berpikir, lalu yang salah ini pikiran saya atau apanya pak?”.
Dari pertanyaan di atas, Prof. Marsigit menjelaskan, bahwa suatu nilai yang jelek atau salah adalah benar, dan disebut sebagai validisme. Mengapa demikian? Karena kalian adalah pemula dalam membaca dan mempelajari artikel-artikel terkait filsafat yang telah dibuat. Dengan demikian, adalah suatu kebenaran ketika kalian belum mampu menjawabnya, hal ini yang harus disadari dalam diri kita, bahwa satu-satunya cara adalah dengan meningkatkan bacaan kita. Semakin luas bacaan kita maka akan semakin luas pula cara kita berpikir, memandang, dan berpendapat.
Yang perlu diingat adalah suatu tes tidak hanya berfungsi untuk menentukan prestasi, melainkan supaya manusia tetap rendah hati terkait apapun yang telah ia raih, baik dari segi ilmu dan lain sebagainya. Ini juga menjadi bahan refleksi pada diri kita akan luasnya pengetahuan itu sendiri, “setinggi-tinggi langit masih ada langit di atasnya” dapat diartikan setinggi-tinggi pengetahuan dan keterampilan kita maka masih ada yang lebih tinggi lagi. Inilah yang memposisikan diri kita selaku manusia tidak ada alasan untuk berprilaku sombong, terlebih dalam menuntut ilmu, sebab dalam filsafat, kesombongan dalam arti normative disebut mitos. Mitos itu sendiri artinya ketidakjelasan, maka dalam belajar filsafat selalu dibatasi dengan berpikir secara spiritual. Demikian bahwa spiritual adalah batasan berpikir manusia, dimana ketika manusia tidak sanggup berpikir lagi secara benar, maka ranah spiritual lah yang mengambil alaih tugas tersebut, supaya manusia tidak terjerumus dari pikiran-pikiran yang melenceng jauh dari kebenaran, yaitu dengan berdo’a. dan sebenar-benar do’a adalah ketika kita dalam berdoa tidak menyadarinya atau dalam keadaan tidak paham karena kekhusyu’an.
Demikian pentingnya budaya “membaca”, dengan membaca kita mampu mengadakan pada diri kita yang mungkin ada. Mengolah pengetahuan sebagai upaya untuk membangun diri sendiri kea rah yang lebih baik. Sehingga filsafat dapat diartikan adalah diri sendiri. Filsafat tidak mengenal istilah menuangkan, mentransfer, mengajarkan, karena filsafat adalah membangun diri sendiri dengan kemampuan, tekad, kesadaran dari dirinya sendiri.
Pertanyaan selanjutnya dari saudari Evvy yang menanyakan: “Bagaimana pendapat filsafat mengenai pemimpin yang sesuai dengan ruang dan waktu?”.
Prof. Marsigit pun lantas menjelaskan terkait pertanyaan di atas, suatu kepemimpinan adalah menyangkut pemimpin dan yang dipimpin. Sehingga dalam kepemimpinan itu pun memiliki tingkatan dimensi. Demikian bahwa pemimpin memiliki dimensi yang lebih tinggi dan dapat dikatakan sebagai dewa terhadap yang dipimpinnya. Dengannya pemimpin adalah ia yang harus mempunyai dimensi lebih tinggi, artinya seorang pemimpin adalah mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan yang lebih baik, berwawasan luas, emosional yang baik, dan bukan semena-mena orang dapat menjadi pemimpin jika tidak memenuhi kriteria tersebut, dan pastinya memiliki pengalaman yang lebih luas dan tinggi. Oleh karena itu, formalnya dari suatu tekad untuk menjadi pemimpin generasi bangsa selanjutnya adalah dengan melanjutkan pendidikannya ke yang lebih tinggi, baik yang S1 melanjutkan S2, yang S2 melanjutkan pendidikan ke jenjang S3, dan seterusnya untuk mengembangkan kemampuan diri. Inilah upaya untuk meningkatkan dimensi seseorang itu sendiri melalui pengetahuan dan pengalaman dari belajar.
Demikian bahwa hidup ini dapat digambarkan suatu bentuk yang siklik. Yang mana berawal dari bayi dalam keadaan polosnya, kekanak-kanakan, dan butuh momongan, selalu berkembang dan belajar dari lingkungan sekitarnya. Kemudian di masa tua yang kembali seperti kanak-kanak, seiring bertambahnya umur dan bertambah tua, demikian pula baik dalam bentuk fisik dan kognitif pun juga menurun, seperti merunduknya tubuh, dan lama-kelamaan pun hanya bisa merangkak bahkan berbaring. Inilah yang menandakan bahwa hidup ini berlakunya hukum karma, timbal balik, berbakti kepada orang tua sebagaimana orang tua kita mengasuh dengan sangat baik kita waktu kecil. Demikian pula ketika kita menjadi pemimpin, bukanlah urusan yang gampang, sehingga janganlah diri kita ini bertindak yang semena-mena dengan melakukan determinasi. Karena setiap individu yang dipimpin adalah dunia, setiap orang memiliki dunianya masing-masing, tidaklah bersikap adil nan bijaksana ketika kita memilih suatu sifat ataupun sikap yang mana itu baik untuk diri kita. Namun, permasalahannya apakah itu baik pula untuk orang lain sehingga dapat mengabaikan bahkan menghancurkan dunia-dunia orang yang kita pimpin karena sifat dan sikap determinis kita.
Selanjutnya, perkuliahan ini diisi dengan pertanyaan yang diutarakan oleh saudari Tri Rahma: “Bagaimana cara untuk dapat menembus/mengarungi dunia ini secara ikhlas?
Prof. Marsigit pun menjelaskan perihal pertanyaan tersebut kurang lebihnya sebagai berikut. Dalam kehidupan dunia ini, memiliki berbagai dimensi hidup. Dan ketika kita membicarakan dari sudut pandang filsafat terkait keikhlasan, maka seseorang yang ikhlas dalam mengarungi kehidupan ini adalah mereka yang dapat menembus ruang dan waktu secara ikhlas, sehingga bagaimana mereka dapat menembus ruang dan waktunya secara ikhlas? Yaitu mereka yang menjalani kehidupan ini sesuai dengan prosedurnya, aturan-aturan, sunnatullah. Sehingga beliau memposisikan keikhlasan itu berada satu tingkat di bawah spiritual. Sebagai contoh benda mati yang ada di sekitar kita seperti batu pun dapat menembus ruang dan waktu dengan ikhlas, karena tidak pernah melakukan protes terhadap diriya sendiri. Sehingga keikhlasan dalam diri adalah kunci seseorang dapat menembus ruang dan waktu. Demikian dapat dikatakan bahwa sebenar-benar hidup adalah ikhlas itu sendiri dengan menjalankan apa-apa yang Allah SWT perintahkan kepada seluruh manusia dengan sesuai kodratnya. Begitupun dalam belajar, terlebih filsafat itu sendiri dengan keikhlasan baik dalam kemandirian dalam belajar, kemerdekaan dan sadar akan diri kita untuk terus berkembang.
Masih dengan sesi Tanya jawab, pertanyaan selanjutnya diajukan oleh saudari Fitriani yang menanyakan: “Apa sebenarnya perbedaan antara para dewa dengan powernow?
Seperti pertanyaan sebelumnya, Prof Marsigit menjelaskan terkait apa yang dipertanyaan oleh saudari Fitriani. Beliau pun mengawali penjelasannya dengan analogi bahwa ayam adalah dewanya cacing, dan cacing pun dewanya tanah oleh sebab cacing memakan tanah. Sebagaimana halnya diri kita adalah dewa bagi adik kita (jika memiliki adik), dosen adalah dewa bagi mahasiswanya, dan menteri pun adalah dewanya dosen. Ini pun yang menjelaskan hidup ini memiliki tingkatan dimensi, dan setiap manusia memiliki hak dan peluang untuk meningkatkan kualitas diri yang secara tidak langsung pun menjadikan kedudukannya sebagai dewa bagi objeknya, yang mengindikasikan kedudukannya sebagai subjek.
Ketika kita membicarakan Negara-negara yang ada di dunia ini, maka Amerika, Cina, dan Rusia adalah Negara dewa yaitu mereka yang memiliki kekuatan yang lebih. Dan Indonesia pun adalah Negara daksa jika dibandingkan dari segi kekuatan dan sebagainya dengan ketiga Negara tersebut. Jika dewa ini diturunkan pada kajian sosial politik maka dapat disebut istilah powernow. Istilah ini dibuat oleh mereka sendiri dengan struktur dari yang terkecil yaitu arkaek, tribal, tradisional, fiodal, modern, post modern, postmo (kontemporer). Sehingga dalam jaman sekarag ini (jaman kontemporer) yang bertindak sebagai dewa adalah sang powernow, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan, kekuatan sebagaimana Negara Amerika Serikat dengan Barack Obama sebagai dewanya. Hal ini saling berkaitan dengan pertanyaan setelahnya dari saudari Nur Afni yaitu: “Apa bedanya powernow dengan superpower?
Superpower adalah yang memiliki kekuatan besar dan wajahnya yang banyak. Yang mana ini merupakan bentuk manipulasi terhadap ruang dan waktu. Sehingga ketika kita bergaul oleh superpower seperti halnya Negara Amerika yang menerapkan standar ganda, yaitu apa yang mereka lakukan dan upayakan kepada Negara-negara kecil adalah semata-mata demi meraih keuntungan yang mereka inginkan secara tersembunyi, satu sisi mengulurkan tangan untuk membantu dan sisi lain mengambil keuntungan yang tersembunyi (secara halus).
Wallaahu a’lam bish shoab



0 komentar:

Posting Komentar