ali.maskur388@gmail.com

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 29 Desember 2015

REFLEKSI KE-6

KOGITO ERGOSUM
(Pemikiran Rene Descartes dengan Eksistensinya)


Bismillahirrahmanirahiim
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuhu

Pertemuan ke-6 ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 20 Oktober 2015, pukul 11.10 WIB s.d 12.50 WIB di ruang 305B gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi S2 Pendidikan Matematika kelas A untuk mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Bpk. Prof. Marsigit, MA. Pada pertemuan kali ini, sistem perkuliahan terdiri dari 2 sesi. Untuk sesi yang pertama diadakannya tes jawab singkat kedua, sedangkan untuk sesi kedua diadakannya tanya jawab seputar filsafat (menembus ruang dan waktu).
Pada sesi tanya jawab seputar filsafat, diawali dengan pertanyaan dari Bu Retno: “Bagaimana penjelasan dari dimensi batu yang terdiri atas spiritual, normative, formatif, dan material?
Kemudian Bpk. Prof. Marsigit menanggapi pertanyaan di atas kurang lebihnya sebagai berikut: Perlu diketahui secara seksama, bahwa struktur yang telah disebutkan tadi dalam tes jawab singkat adalah sebagian kecil dari sekian banyak struktur baik yang ada maupun yang mungkin ada. Bahkan dari struktur tersebut dapat dibagi lagi menjadi struktur lainnya, sehingga menjadi lebih beragam. Contoh saja dari struktur yang ada di dunia itu sendiri, seperti: siang dan malam, kiri dan kanan, atas dan bawah. Yang mengindikasikan semua makhluk mengalaminya di dunia ini. Itulah filsafat, yang mencakup semua aspek di dunia ini. Sebab dalam berfilsafat adalah dengan intensif (sedalam-dalamnya) dan ekstensif (seluas-luasnya). Demikian halnya ketika kita mencoba untuk mengidentifikasikan semua struktur, maka tidak akan ada habisnya. Sebagaimana sarung, batu, dsb dapat pula menjadi senjata. Namun seiring dengan perkembangan jaman, maka manusia membuat senjata yang lebih potensial dan efisien. Seperti senjata api, bom, dan lain sebagainya.
Dalam mempelajari filsafat, adanya struktur-struktur yang mengandung manfaat, praktis, dsb yang berpotensial untuk dikembangkan baik itu dalam aspek material, formatif, normative, maupun spiritual supaya manusia berpikir. Sehingga filsafat yang membuat dunia ini selalu mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Artinya, sebenar-benar hidup ialah hidup yang baik dan sukses.
Hidup yang baik dan sukses itu masih terlalu umum, sehingga indicator dari hidup yang baik dan sukses masih sangat luas untuk didefinisikan. Contoh saja, indicator dari hidup yang baik dan sukses saat ini adalah ketika mampu lulus ujian, namun bisa saja di lain kesempatan indicator dari hidup yang baik dan sukses adalah ketika ia memiliki Laptop, HP, mobil, motor, sembuh dari penyakit, memperoleh pekerjaan yang ia idamkan, dan lain sebagainya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu kehidupan yang dikatakan baik dan sukses adalah ketika seseorang berlaku sopan & santun terhadap ruang dan waktunya. Dan perlu dicermati, bahwa hal yang demikian tadi bukanlah merupakan suatu yang bersifat tetap, melainkan suatu yang bersifat dinamik (berdinamika) atau keseimbangan antara diam dan tetap, dalam filsafatnya ialah yang mampu menembus ruang dan waktu.
Berbicara terkait menembus ruang dan waktu ialah bukan soal keberlakuan bagi makhluk hidup semata seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Melainkan benda mati pun mengalami hal yang demikian (menembus ruang dan waktu). Sebagaimana batu, sadar atau tidak kita sadari bahwa batu pun mengalami “menembus ruang dan waktu”. Contoh saja batu yang saat ini terletak disini bisa jadi di lain kesempatan akan berpindah tempat, bisa dengan tekanan aliran air hujan sehingga dapat berpindah tempat, demikian sebuah batu dapat diteliti umurnya yang mengindikasikan bahwa batu pun menembus ruang dan waktu.
Persoalannya, bagaimana cara manusia menembus waktu? Sehingga timbullah pernyataan “sebenar-benar dunia adalah bahasa itu sendiri”. Dalam filsafat, bahasa itu adalah analitik, sedangkan dunia adalah kata-kata, maka adanya istilah “sebenar-benar dunia menunjukkan kata-katamu. Hal ini yang menjadi refleksi bagi manusia untuk berhati-hati dalam bertutur kata. Ketika aspek dunia dinaikkan ke aspek spiritual, maka kata-kata itu berupa do’a (kata-kata yang berbau spiritualitas).
Begitu banyaknya kata-kata yang dapat diekstensikan, seperti “bilangan”. Apa itu materialnya bilangan? Formalnya bilangan? Normatifnya bilangan? Dan spiritualnya bilangan? Hal ini menunjukkan perbedaan antara bilangan dengan batu, yang mana jika ditinjau dari segi ontology, batu berada di luar pikiran (realism), sedangkan bilangan ada di dalam pikiran (idealism). Dari batu dan bilangan mampu mensimulasikan dunia, hal ini yang menunjukkan bahwa filsafat dapat membangun dunia baik itu dari yang ada maupun yang mungkin ada.
Manusia dapat membangun dunia ketika ia memiliki keterampilan menembus ruang dan waktu secara bijak. Dan penting pula untuk bahan renungan kita, bahwa sebenar-benar musih filsafat ialah ketika ia merasa tahu namun pada hakekatnya ia belum tahu, sehingga menyadari ketika kita belum tahu adalah hal penting yang harus kita tanamkan pada diri kita. Sebagaimana yang dikemukakan oleh filsuf terkemuka Sokrates: “Saya tidak mengerti apa-apa, dan satu-satunya yang saya mengerti adalah bahwa saya tidak mengerti apa-apa”. Ada pelajaran dari pernyataan dari sokrates di atas, bahwa dalam filsafat yang perlu ditanamkan adalah sifat rendah hati dengan manyadari bahwa dalam diri kita itu masih memiliki banyak kekurangan, yang mengiring kita untuk selalu bersyukur kepada Tuhan Pencipta semesta alam Allah SWT.
Selanjutnya, kuliah ini masih diadakannya sesi tanya jawab, yang mana sudah sejauh manakah mahasiswa membaca artikel-artikel, buku-buku yang berbau filsafat. Penanya kedua dari Saudari Evvy: “Bagaimana pandangan filsafat tentang ketidakpercayaan terhadap orang lain?”.
Terkait untaian pertanyaan di atas, Prof. Marsigit menjelaskan sebagai berikut: ketika kita membicarakan tentang kepercayaan, maka kepercayaan itu sendiri ada di dalam dan di luar. Percaya di dalam hati naik ke pikiran, dan di dalam pikiran turun ke hati. Sehingga dalam berfilsafat itu mencari kepastian dan kebenaran. Dan ketika pada titik mencari kepastian dan kebenaran itu, diri kita telah menembus ruang dan waktu yang salah sehingga dapat disebut mitos. Mitos ini artinya keterbatasan yang dipikirkan, dan hal ini kaitannya dengan urusan dunia, dan berfilsafat adalah proses untuk memecahkan perihal-perihal yang berbau mitos. Kecuali dalam aspek spiritual, yang mana keyakinan dalam hati tidak akan mampu dipahami secara menyeluruh dengan pikiran. Jika kita turunkan ke ranah psikologi, bahwa interaksi antara hati dan pikiran akan menghasilkan interkasi, fenomena, dan aktifitas.
Skeptisisme adalah aliran dalam filsafat yang mana seseorang tersebut tidak mempercayai sesuatu, yang membuat ia ragu terhadap sesuatu sehingga ia mencari informasi untuk membangun sesuatu pemahaman yang tak tergoyahkan. Aliran ini memiliki tokohnya yaitu Rene Descartes. Rene Descartes ini menceritakan bahwa ia pernah mengalami mimpi yang khusyuk, sehingga karena kekhusyu’annya dalam bermimpi membuat ia tak dapat membedakan antara ia mimpi atau fakta. Hal ini lah yang membuat Rene Descartes meragukan semuanya termasuk meragukan keyakinannya terhadap Tuhannya. Dengan demikian, Rene Descartes mencoba mencari sebuah kepastian. Akan tetapi muncullah suatu persoalan berikut: apa yang menjadi tolak ukur kepastian? Siapa yang mampu menjamin bahwa dunia ini adalah bukan dunia mimpi? Karena dalam mimpi pun bisa saja terjadi proses kehidupan yang identik dengan dunia nyata.
Di bagian akhir perkuliahan ini, suatu kepastian yang tidak dapat dibantahkan menurut filsafat adalah ketika aku sedang bertanya atau ketika aku sedang memikirkannya, aku ada karena aku berpikir “kogito ergosum” (Rene Descartes). Pernyataan tersebut dapat diekstensikan menjadi “aku ada karena aku berkarya, aku ada karena aku menghasilkan dengan munculnya konsep ada, mengada, sehingga menjadi pengada”.

Wallaahu a’lam bish shoab.

REFLEKSI KE-5

FILSAFAT & BERFILSAFAT
(Kunci Terjauhnya Bayang-Bayang Para Mitos)


Bismillahirrahmanirahiim
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuhu

Pertemuan ke-5 ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 13 oktober 2015, pukul 11.10 WIB s.d 12.50 WIB di ruang 305B gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi S2 Pendidikan Matematika kelas A untuk mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Bpk. Prof. Marsigit, MA. Pada pertemuan kali ini, sistem perkuliahan diawali dengan penjelasan terkait pentingnya suatu tes jawab singkat, bukan hanya sekedar nilai semata, melainkan sebagai pemberian ilmu. Dengan filsafat adalah proses olah pikir, sehingga ketika melakukan tes jawab singkat terkait filsafat dari hal-hal yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari pun mampu untuk mengadakan dan memancing pikiran kita untuk lebih berpikir luas, cepat, dan sesuai dengan ruang dan waktunya. Menurut beliau, ketika mahasiswa mampu untuk membaca dan mensintesiskan apa yang ia baca, berarti ia telah berproses olah pikir, yang tanpa disadari ia telah mencerdaskan pikirannya.
Sebagaimana telah disinggung di awal tadi, bahwa berfilsafat itu suatu proses olah pikir, kalau dilihat dari tataran dimensinya maka dimensi yang terletak paling bawah ialah dimensi material, di atasnya terdapat dimensi formal dan di atas formal ada dimensi normatif, di atas normatif itu spiritual, dan dimensi yang tertinggi dalam berfilsafat adalah dimensi spiritual. Maka terkait masalah jodoh ini harus dijelaskan dari sisi apakah ia itu perkawinan, apakah ia itu percintaan, atau pernikahan, dan sehebat-hebat pikiranku tidak lah aku mampu menjelaskan perasaanku walaupun aku setengah manusia atau bahkan setengah dewa seperti raja Thailand yang dianggap setengah dewa oleh rakyatnya, dihormati sebagai raja setengah dewa, ia pun tidak akan pernah mampu memikirkan semua perasaan hatinya. Itu pertanda bahwa pikiran manusia tidak akan mampu menjangkau spiritualisme secara menyeluruh, hanya sebagian kecil saja yang mampu dipikirkan oleh manusia. Kemudian sehebat-hebat kalimat atau perkataan yang diucapkan seseorang, tidaklah mungkin mampu mengucapkan semua yang ada dipikirannya, ketika terlihat ceria belum tentu perasaan atau pikirannya lagi senang, bisa jadi ia memikirkan sesuatu hal lain. Dan sehebat-hebat tulisan seseorang, tidaklah mampu menulis semua hal yang ia pikirkan ataupun yang ia ucapkan.
Membicarakan tentang pernikahan, bahwa kata ini pun memiliki struktur yang lengkap, baik itu ditinjau dari segi meterial, formal, normatif, maupun spiritual. Namun, ada hal yang kita tidak dapat memikirkannya, misalnya kenapa saya ketemu kamu dan menikah denganmu? Ranah inilah yang dapat dipahami dari aspek spiritual, bahwa aspek spiritual yang dapat berperan untuk memecahkan pertanyaan di atas. Spiritual itu sendiri dari langit turun ke bumi, sedangkan dalam filsafat ialah terkait yang ada di bumi, sehingga tidak lah mampu untuk memikirkan urusan-urusan yang ada di langit.
Adanya pernikahan pun tidak dapat dipisahkan dari kata jodoh, jodoh pun ketika ekstensinya diturunkan maka ngeri jika dipikirkan, terlalu primitif. Sehingga manusia pun hidup memiliki potensi untuk menikah. Tentang adanya seseorang yang tidak menikah di dalam hidupnya, itu di luar dari pembicaraan ini yang sebenarnya memiliki potensi untuk menikah. Bahkan hewan dan buah-buahan pun juga memiliki jodoh, demikian yang mengindikasikan bahwa setiap makhluk di muka bumi ini memiliki potensi untuk berjodoh, sekalipun hewan yang cara berjodohnya sangat miris jika dipikirkan dengan jodohnya manusia.
Hal demikian sesuai dengan latar belakangnya, ketika potensi pada tumbuhan ini dinaikkan ke hewan maka bahasanya pun naluri atau insting, kemudian ketika dinaikkan lagi ke tingkatan manusia maka bahasanya pun intuisi. Sehingga orang yang cerdas dalam filsafat adalah orang yang sopan terhadap ruang dan waktunya.
Selanjutnya, perkuliahan ini membahas tentang manusia yang memiliki tujuan hidup dan bagaimana ketika tujuan hidupnya itu tidak terpenuhi. Tujuan itu dalam filsafat adalah idealis, dan idealis itu adalah sesuatu yang ada di dalam pikiran setiap manusia. Sehingga antara pikiran dan fakta itu belum tentu sinkron. Dalam ranah kehidupan, baik itu usaha ataupun berpikir adalah dari unsur yang disintesiskan, contoh saja sintesis antara berhasil dan tidaknya sesuatu, sintesis antara kenyataan dan tujuannya, atau bahkan sintesis antara sehat dengan sakit. Semuanya jika dipandang dari sudut pandang spiritual akan bersifat relatif, tidak absolut, dan yang absolut ialah kekuasaan yang Maha Satu. Demikian menunjukkan bahwa kriteria kesuksesan ialah relatif, manusia memiliki perspektif yang berbeda-beda pula. Ada halnya ketika manusia dilanda suatu kegagalan (tujuan yang tidak sinkron dengan realita), namun setelahnya ia bertawakal, berdo’a, tetap berusaha dan lain sebagainya. Dan dengan demikian ia mampu meraih keberhasilan atas kegigihannya. Ini pula yang disebut suatu keberhasilan dengan tema yang berbeda dari yang lainnya. Hal yang dapat kita ingat bahwa manusia hidup dengan potensi-potensi yang dimilikinya masing-masing, sehingga jalannya meraih impiannya pun berbeda-beda. Yang harus kita cermati bahwa seeorang yang pantang menyerah terkait hal yang ia citakan kemudian ia meraih kesuksesan dengan kegigihannya merupakan suatu tekad yang mengagumkan, ia mendapatkan 2 makna pelajaran hidup.
Tak pelak kehidupan ini diliputi dengan berbagai cobaan, boleh saja orang membuat rencana dari suatu tujuan secara lurus. Namun bukan berarti kehidupan realitanya pun akan sejalan yang ia rencanakan/sesuai tujuan. Ini yang menjadi tolak ukur manusia dalam berkembang, apakah ia pandai bersyukur di atas cobaan yang ia hadapi atau bahkan ia mengeluh dengan berprasangka negatif terhadap Allah SWT. Dapat dikatakan pula dengan mendahului kehendak Tuhan atau dalam bahasa jawanya “nggege mongso”.
Sangkut-paut dari paragraph di atas dalam bahasa filsafatnya ialah tidak menempatkan sesuatu hal yang sesuai dengan ruang dan waktunya atau bahasa spiritualnya ialah dzalim terhadap ruang dan waktu.
Pembahasan selanjutnya terkait “Kenapa matematika murni disebut sebagai koherentisme?”. Prof. Marsigit pun menjelaskan bahwa matematika murni itu hanya seputar membuat definisi, aksioma, dan teorema. Sehingga teorema yang berjumlah hingga ribuan pun harus memenuhi kaedah konsistensial atau yang dikenal dalam bahasa filsafatnya koherentisme. Ini pun ada lawannya, yaitu yang sesuai dengan ruang dan waktu atau dalam bahasa filsafatnya yaitu korespondensi. Matematika itu hanya membutuhkan logika, sehingga tidak menuntut kecocokan dengan kenyataan dalam pemisalannya. Hal inilah yang ditentang oleh tokoh besar Immanuel Kant, yang mengungkapkan bahwa ilmu itu haruslah berdasarkan pikiran dan pengalaman. Sanggupkah kita untuk hidup hanya dengan menggunakan pikiran semata? Atau sebaliknya, mampukah kita hidup hanya dengan pengalaman semata? Demikian dari kedua-duanya itu dapat saling melengkapi untuk mengarungi suatu kehidupan, bahwa kehidupan ini harus memenuhi 2 aspek tersebut yaitu pikiran dan pengalaman.
Terakhir perkuliahan ini membahas tentang ketidakpastian dalam hidup ditinjau dari kalangan filsuf. Dalam filsafat, hanya terdapat 2 macam persoalan:
a.    Jika yang engkau pikirkan ada dalam pikiranmu maka bagaimana cara engkau menjelaskan kepada orang lain?
b.  Dan jika yang engkau pikirkan ada di luar pikiranmu, lalu bagaimanakah engkau dapat memahaminya?
Berfilsafat adalah mengolah pikir terkait yang ada di kehidupan kita, menjawab terkait 2 poin di atas, sehingga di dalam hidupnya pun terjauh dari para mitos.

Wallaahu a’lam bish shoab

REFLEKSI KE-4

RUANG DAN WAKTU
(SEBAGAI SATU KESATUAN ELEMEN PENTING)


Bismillahirrahmanirahiim
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuhu

Pertemuan ke-4 ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 29 September 2015, pukul 11.10 WIB s.d 12.50 WIB di ruang 305B gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi S2 Pendidikan Matematika kelas A untuk mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Bpk. Prof. Marsigit, MA. Pada pertemuan kali ini, sistem perkuliahan diawali dengan sistem tanya jawab.
Dalam mengawali kuliah ini, Prof. Marsigit memberikan tes jawab singkat sebagai bentuk bahwa tes bukan hanya untuk menguji pemahaman (aspek kognitif) mahasiswa, melainkan berfungsi juga sebagai mengadakan yang mungkin ada. Artinya perihal yang mungkin ada di dunia ini dapat kita ketahui dari berbagai macam cara, salah satunya ketika diberikan tes jawab singkat tentang filsafat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, disini lah letak fungsi tes juga sebagai pemberian informasi, yang mulanya belum tahu menjadi tahu. Tes jawab singkat disini menyinggung bahwa sebijak-bijaknya seseorang ialah yang mampu bertindak sesuai dengan ruang dan waktunya, memaksimalkan dan melaksanakan suatu hal yang sesuai dengan ruang dan waktunya. Disinilah bahwa suatu ruang itu penting ketika adanya waktu, begitupun sebaliknya suatu waktu itu dapat dikatakan penting ketika adanya ruang. Tidak lah mungkin seorang yang melakukan penelitian itu hanya membutuhkan tempat penelitian (ruang) untuk menggapai fakta, tetapi tempat itu dapat dikatakan penting ketika adanya keterangan waktu yang jelas.
Sesi kedua, kuliah ini terbentuk dengan kegiatan tanya jawab dari berbagai mahasiswa penanya. Sebagaimana salah satu pertanyaan yang berbunyi “bagaimana orang yang mencari zat tuhan?  Jadi begini, jika diekstensikan dalam agama-agama seperti agama hindu yang mayoritas berada di Bali menyatakan bahwasanya semua zat adalah sakral, tanpa terkecuali bahkan kentut pun sakral, namun  ini adalah kenyataan yang dijumpai disana. Menurut agama Hindu, semua zat di dalam pengaruh kuasa Tuhan, hal ini sesuai di dalam agama Islam dan bahkan filsafat pun juga demikian. Oleh karenanya, dalam tubuh kita ini adalah zat tuhan, yaitu zat yang mana dalam kuasa Tuhan. Sehingga ketika manusia ingin hidup yang harmoni, maka disesuaikan dengan kodratnya Tuhan. Dalam kehidupan ini ada 2 unsur penting yang berimbang, unsur fatal dan vital, ketika kita hidup hanya pada unsur fatal atau berserah pada nasib/takdir saja tidak akan bisa. Sebaliknya ketika kita hidup hanya pada unsur vital, manusia yang hanya bermodalkan ikhtiar, bekerja tanpa berdoa, maka hidupnya pun tidak akan harmonis, kemiskinan hati yang ia miliki.

Hidup ini tidak terlepas dari 2 unsur fital dan fatal, fital yang sesuai dengan ruang dan waktu, kemudian diimbangi fatal dengan berdoa terkait semua yang telah diikhtiarkan

Wallaahu a’lam bish shoab

Senin, 23 November 2015

VALIDITAS DAN RELIABILITAS SUATU INSTRUMEN


A.      VALIDITAS
Dalam instrumen suatu penelitian baik itu instrumen tes maupun non tes, sebagai upaya untuk menyusun instrumen yang baik sesuai dengan teori dan indikator yang ingin dicapai dalam suatu penelitian serta mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Tujuan yang demikin dapat direalisasikan dengan adanya validitas dan reliabilitas suatu instrumen, baik di bidang pendidikan maupun psikologi. Lalu apakah itu validitas dan reliabilitas? Apa peran keduanya bagi instrumen penelitian?
Validitas, ada berbagai pendapat mengenai validitas untuk instrumen sebagai pengukuran, menurut  Arikunto (1999:65) validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu tes, suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut mampu mengukur apa yang hendak diukur, tes memiliki validitas yang tinggi jika hasilnya sesuai dengan kriteria dalam arti memiliki kesejajaran antara tes dan kriteria”. Pendapat di atas diperkuat oleh Kerlinger dkk (dalam Heri, tanpa tahun) bahwa validitas suatu alat ukur adalah sejauh mana alat ukur itu mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Sementara itu, menurut Linn dan Gronlund (dalam Heri, tanpa tahun) menjelaskan validitas mengacu pada kecukupan dan kelayakan interpretasi yang dibuat dari penilaian, berkenaan dengan penggunaan khusus. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, bahwa validitas sebagai pengukuran untuk menunjukkan sesuai atau tidaknya suatu instrumen dengan kriteria yang akan diteliti, hingga mendapatkan instrumen yang valid dengan mampu mengukur apa yang hendak diukur, jadi instrumen bersifat lebih spesifik sesuai dengan kriteria yang akan diteliti.
Validitas memiliki 3 tipe, yaitu:
1.      Validitas kriteria (criterion-related)
2.      Validitas isi (content related), dan
3.      Validitas konstruk (construct-related)
(Nunnally, 1978, Allen dan Yen, 1979, Fernandes, 1984, Woolfolk dan McCane, 1984, Kerlinger, 1986, dan Lawrence, 1994).
Macam-macam validitas di atas dapat diketahui melalui fakta keberadaan validitas, sedangkan sumber fakta validitas dapat dikelompokkan menjadi isi tes, proses, respons, struktur internal, hubungan dengan variabel lain, dan konsekuensi dari pelaksanaan tes. Dengan adanya analisis empirik maupun non empirik dari isi tes dan skor tes data respons butir dapat mengidentifikasi kevalidan suatu perangkat tes. Dalam validitas kriteria terdapat validitas prediktif yang dimaksud untuk menjawab pertanyaan sejauh mana tes memprediksi kemampuan siswa di masa mendatang, dan validitas konkuren yang dimaksud untuk mengestimasi kemampuan dengan alat ukur lain dengan tenggang waktu yang hampir bersamaan. Validitas isi adalah sejauh mana butir-butir yang terdapat dalam instrumen mampu mewakili komponen-komponen yang hendak diukurnya baik dalam segi isi maupun cerminan ciri perilaku yang akan diteliti. Validitas isi dilakukan dengan menyerahkan bentuk instrumen tersebut kepada ahli (sesuai dengan bidangnya) sebagai validator, dengan maksud untuk mengoreksi apakah instrumen tersebut sudah dikatakan valid dengan kata lain mampu mengukur apa yang (konsep) hendak diukurnya. Tipe yang ketiga validitas konstruk, validitas ini dimaksud untuk menunjukkan apakah instrumen tersebut mampu mengkonstruk teoritis (mengungkap suatu kemampuan) yang hendak diukurnya. Validitas ini dilakukan dengan menguji coba soal kepada siswa lain (selain objek penelitian) yang sesuai dengan jenjang pendidikannya. Apabila hasilnya sesuai dengan harapan, maka instrumen itu dianggap memiliki validitas konstruk yang baik.
Dalam pengukuran validitas, validitas isi yang ditentukan menggunakan kesepakatan ahli, ketika suatu instrumen telah diyakini oleh para ahli mampu mengukur penguasaan kemampuan yang didefinisikan, dengan indeks validitas butir yang diusulkan oleh Aiken dirumuskan sebagai berikut:  , dengan  , r = skor kategori pilihan rater dan = skor terendah dalam kategori penyekoran, n = banyaknya rater, dan c = banyaknya kategori yang dapat dipilih rater. Berdasarkan kesepakatan di atas maka V merupakan indeks kesepakatan rater terhadap kesesuaian butir (sesuai tidaknya butir instrumen) dengan indikator yang ingin diukur dengan instrumen tersebut.
Lain halnya dalam validitas konstruk, dalam pengukuran validitasnya dengan membuktikan kebermaknaan skor hasil pengukuran, lalu analisis yang banyak digunakan antara lain dengan analisis faktor eksploratori (exploratory factor analysis, EFA) maupun analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis, CFA). Dalam segi penggunaannya, EFA digunakan ketika model pengukuran dari konstruk instrumen masih dicari ataupun dilakukan eksplorasi, namun pada CFA, ketika model pengukuran telah ada teorinya, maka konstruk instrumen tinggal dibuktikan atau dikonfirmasi. Pada analisis faktor dapat menggunakan program komputer seperti SPSS, SAS, MINITAB, R, MPLUS, dan lain sebagainya.
Kemudian dalam validitas kriteria ini dapat digunakan dengan melihat kebermanfaatan dari interpretasi skor hasil pengukuran (usefulness). Pada validitas ini diperlukan skor hasil pengukuran menggunakan instrumen lain yang lebih terstandar. Dalam penghitungannya yang sering digunakan dalam validasi ini adalah menggunakan analisis korelasi, seperti analisis product-moment. Jika kriteria yang telah ada saat skor penilaian diperoleh atau dalam perolehan kedua data dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, validasi ini bersifat konkuren, namun jika sebaliknya kedua data diperoleh dalam rentang waktu yang cukup lama maka validasi ini bersifat prediktif. Validitas kriteria ini dapat diketahui dengan mengestimasi korelasi skor tes peserta dengan skor kriteria. Dengan adanya validitas kriteria ini memiliki manfaat yaitu dengan adanya validitas kriteria ini dapat memprediksi suatu skor kemampuan ke skor kriteria sebagai cara memprediksi kemampuan atau performen peserta tes. Prediksi ini menggunakan persamaan regresi, ada 2 macam regresi yang dapat digunakan dalam hal ini, yaitu regresi sederhana (tunggal) yang memiliki ciri prediktornya hanya satu saja, persamaannya sebagai berikut:
 
Dengan  merupakan hasil prediksi,  sebagai konstanta,   sebagai koefisien prediktor, dan X merupakan prediktor.
Cara kedua adalah menggunakan regresi ganda, dengan ciri prediktornya lebih dari satu variabel. Regresi ganda ini dipergunakan ketika tes terdiri dari beberapa subtes, dan prediktor merupakan jumlahan skor dari subtes-subtes yang terdapat dalam perangkat. Persamaan regresi ini sebagai berikut:
 

B.       RELIABILITAS
Dalam suatu instrumen tes, maka peran reliabilitas adalah untuk mengetahui seberapa andal instrumen yang akan diteskan, menilik dari reliabilitas itu sendiri merupakan derajat keajegan (consistency) di antara 2 buah hasil pengukuran pada objek yang sama. Lebih jelasnya bahwa konsistensi hasil pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang sama untuk orang yang berbeda atau pada waktu yang berbeda tetapi kondisi yang sama. Konsistensi ini berkaitan dengan tingkat kesalahan hasil suatu tes yang berupa skor.
 Allen dan Yen (dalam Retnawati: tanpa tahun) menyatakan bahwa tes dikatakan reliabel (ajeg) jika skor amatan mempunyai korelasi yang tinggi dengan skor yang sebenarnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa reliabilitas merupakan koefisien korelasi antara dua skor amatan yang diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan tes yang paralel. Dengan demikian pengertian yang dapat diperoleh dari penrnyataan di atas bahwa suatu tes itu dikatakan reliabel (ajeg) jika hasil pengukuran mendektati keadaan peserta tes yang sebenarnya. Namun dalam pendidikan, ciri atau karakter seseorang tidak dapat langsung dilakukan pengukuran, yang mana hal tersebut bersifat abstrak.
Reliabilitas suatu instrumen tes pada umumnya diekspresikan secara numerik dalam bentuk koefisien yang besarnya -1 > 0 > 1. Koefisien itu yang menunjukkan tinggi atau rendahnya reliabilitas tersebut. Ketika koefisien tinggi maka reliabilitas pun juga tinggi yang menunjukkan kesalahan yang kecil dan pengaruh kesalahan pengukuran telah terkurangi, demikian sebaliknya ketika koefisien rendah maka reliabilitas pun juga rendah yang mengindikasikan kesalahan yang tidak sedikit. Kesalahan pengukuran itu sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah karakteristik tes evaluasi itu sendiri, seperti butir-butir tes yang meragukan, dan tidak sesuai dengan aturan buku, peserta tes yang lelah/ kondisi yang tidak kondusif untuk diselenggarakannya tes., problema pribadi, motivasi dari siswa yang kurang, lingkungan diselenggarakan tes yang tidak memadai atau mendukung, atau bahkan kombinasi dari permasalahan-permasalahan di atas.
Perhitungan reliabilitas disebut dengan estimasi. Estimasi reliabilitas tes itu sendiri dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut:
1.    Pengukuran Konsisitensi Eksternal
Pengukuran ini diperoleh dengan cara mengolah hasil pengetesan yang berbeda, baik itu dari instrumen yang berbeda maupun sama, pengukuran ini pun dapat dilakukan dengan dua cara:


a.    Metode tes ulang (Test-Retest-Method)
Dilihat dari segi nama pun telah mencerminkan bahwa dengan metode ini untuk mengetahui sampai dimana suatu pengukuran dapat diandalkan, maka pengukuran ini dapat dilakukan dua kali, pengukuran pertama dan ulangannya. Kedua-duanya dapat dilakukan pada orang yang sama maupun berbeda. Reliabilitas tes retest ini penting ketika kita menafsirkan koefisien tes-retes untuk mengetahui: jangka waktu antara kedua pengambilan penilaian, stabilitas yang diharapkan dari kinerja yang diukur. Secara umum, semakin lama antara interval pelaksanaan tes yang berulang, maka semakin rendah tingkat reliabilitasnya. Untuk mengetahui koefisien reliabilitas melalui pendekatan tes-retes dapat dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi linier antara distribusi skor subjek pada pemberian tes pertama dengan skor pada pemberian skor kedua.
 

b.    Metode Bentuk Paralel (Equivalent)
Tes paralel atau tes equivalent adalah dua buah tes yang mempunyai kesamaan tujuan, tingkat kesukaran, dan susunan, tetapi butir-butir soalnya berbeda. Dalam menggunaka tes paralel, pengetes harus menyiapkan dua buah tes, dan masing-masing instrumen tes tersebut diujicobakan pada sekelompok siswa wang sama. Penggunaan metode ini baik karena siswa dihadapkan oleh dua macam tes, sehingga tidak ada faktor “masih ingat-ingat soalnya”. Namun kelemahan metode ini adalah pengetes pekerjaannya berat karena harus menyusun dua seri tes, dan harus dalam waktu yang lama dalam mencobakan dua kali tes. Adapun langkah-langkah dalam metode ini sebagai berikut:
                                  i.          Menentukan subjek sasaran yang hendak dites
                                ii.          Melakukan tes yang dimaksud kepada sasaran subjek yang dimaksud
                              iii.          Diadministrasi dengan baik
                              iv.          Dalam waktu yang tidak begitu lama melakukan tes yang kedua pada kelompok tersebut
                                v.          Mengkorelasikan antara kedua skor tersebut
Reliabiitas ekuivalen merupakan salah satu bentuk yang diterima dan umum dipakai dalam penelitian terutama dalam penelitian pendidikan.

2.    Pengukuran Konsistensi Internal
Reliabilitas ini diperoleh dengan cara menganalisis data dari satu kali pengetesan. Pengetesan suatu teknik didasarkan atas bentuk instrumen atau selera peneliti. Namun, untuk beberapa teknik diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu sehingga peneliti tidak begitu saja memilih teknik-teknik tersebut. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mencari besarnya reabilitas antara lain sebagai berikut:

a.    Metode Belah Dua (Split Half Method)
Dalam metode belah dua ini, pengetasnnya hanya menggunakan satu tes yang dicobakan satu kali pada sejumlah sampel. Item-item tesnya dibagi dua, kemudian skor dari setengah item-item tes pada bagian yang pertama dikorelasikan dengan skor setengah item-item tes pada bagian yang kedua. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggunaka teknik belah dua yaitu: banyaknya butir pertanyaan atau butir soal dalam instrumen harus genap agar dapat dibelah dua, dan antara belahan pertama dan belahan kedua harus seimbang. Terkait belahan instrumen yang dikatakan seimbang jika jumlah butir pertanyaannya sama dan pertanyaan tersebut mengungkapkan aspek yang sama. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya pengelompokan item-item tertentu ke dalam salah satu belahan saja melalui cara berikut: membelah item-item genap dan item-item ganjil yang selanjutnya disebut belahan ganjil-genap, dan membelah atas item-item awal dan item-item akhir yaitu separoh jumlah pada nomer-nomer awal dan separo pada nomer-nomer akhir yang selanjutnya disebut belahan awal-akhir.
Adapun cara pengujiannya menggunakan berbagai cara berikut:
1)       Reliabilitas dengan Rumus Spearman-Brown
Rumus spearman brown yang digunakan adalah:
 
 
Keterangan:  reliabilitas instrumen
 indeks korelasi antara dua belahan instrumen
 banyaknya responden
 belahan pertama
 belahan kedua

2)        Reliabilitas dengan Rumas Flanagan
Dalam teknik ini, maka peneliti harus melakukan analisis butir terlebih dahulu dan menggunakan teknik belah dua ganjil-genap. Rumus Flanagan sebagai berikut:
 
Keterangan:  reliabilitas instrumen
 varians belahan pertama (varians skor butir ganjil)
 varians belahan kedua (varians skor butir-butir genap)
 varians skor total


Untuk semua rumus varians adalah:
 

3)      Reliabilitas denga Rumus Rulon
Dalam metode ini, perbedaan skor subjek pada kedua belahan tesakan membentuk distribusi perbedaan skor dengan varians yang besarnya ditentukan oleh varians eror, masing-masing belahan menentuka varians eror keseluruhan tes. Metode ini dengan merumuskan formula untuk mengestimasi reliabilitas belah dua tanpa perlu berasumsi bahwa kedua belahan mempunyai varians yang sama.
 
Keterangan:  reliabilitas instrumen
 varians total atau varians skor total
 varians (varians difference)
skor pada belahan awal dikurangi skor pada belahan akhir

b.    Kuder-Richardson-Realiability
Pada metode ini, yang membedakan penggunaannya adalah jumlah butir tes genap atau ganjil.
1)        KR-20
Apabila peneliti memiliki instrumen tes dengan jumlah butir pertanyaan ganjil, maka dapat menggunkan rumus KR-20 sebagai berikut:
 
Keterangan:  reliabilitas instrumen
 banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
 varians total
 proporsi subjek yang menjawab betul pada suatu butir (proporsi subjek yang mendapat skor 1)
 
 

2)        KR-21
 
Keterangan:  reliabilitas instrumen
 banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
 varians total
 skor rata-rata


c.    Cronbanch Alpha
Rumus Alpha digunakan untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 1 dan 0, misalnya instrumen angket dan soal dalam bentuk uraian.
Rumus Alpha sebagai berikut:
 
Keterangan:  reliabilitas instrumen
 banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
 jumlah varians butir
 varians total
Rumus ini yang paling banyak digunakan dalam penelitian pendidikan yang diyakini lebih valid dalam perhitungannya.