MEMAHAMI DIMENSI HIDUP DARI SEGI
FILSAFAT
Bismillahirrahmanirahiim
Assalaamu’alaikum
warahmatullaahi wabarokaatuhu
Pertemuan
ke-7 ini dilaksanakan pada
hari Selasa tanggal 27 oktober
2015, pukul 11.10 WIB s.d 12.50 WIB di ruang 305B gedung lama Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta Prodi S2 Pendidikan Matematika kelas A untuk mata
kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Bpk. Prof. Marsigit, MA. Pada
pertemuan kali ini, sistem perkuliahan
terbagi menjadi 2 bentuk. Perkuliahan ini diawali dengan tes jawab singkat yang
terdiri dari 50 pertanyaan. Selanjutnya perkuliahan ini diadakan tanya jawab
terkait ruang dan waktu dalam filsafat.
Tanya jawab pada kesempatan ini diawali dengan arahan
dari Prof. Marsigit, beliau mengingatkan untuk kita sama-sama meningkatkan
bacaan, dan dari bacaan itulah yang akan meningkatkan taraf berpikir kita,
karena sesungguhnya antara pikiran mahasiswa dengan beliau adalah saling
isomorfis, dan setiap pikiran pasti saling berisomorfis dengan lingkungannya
atau bahkan dunianya. Sehingga setiap manusia hanya mampu mengatakan apa yang
ia pikirkan dalam keadaan sadar, lain halnya dengan orang dalam kondisi mabuk
karena orang mabuk tidak akan mengerti apa-apa terkait yang dikatakannya.
Demikian, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan, ilmu, pengetahuan seseorang
dapat terlihat dari bagaimana cara ia berbicara, bagaimana cara ia memandang,
dan berpendapat.
Selanjutnya, perkuliahan tanya jawab ini diawali
dengan pertanyaan dari saudari Azmi: “berkaitan
dengan tes yang tadi, untuk beberapa tes ini nilai saya dapat dikatakan
memprihatinkan. Berpikir saja saya salah apalagi tidak berpikir, lalu yang
salah ini pikiran saya atau apanya pak?”.
Dari pertanyaan di atas, Prof. Marsigit menjelaskan,
bahwa suatu nilai yang jelek atau salah adalah benar, dan disebut sebagai
validisme. Mengapa demikian? Karena kalian adalah pemula dalam membaca dan
mempelajari artikel-artikel terkait filsafat yang telah dibuat. Dengan
demikian, adalah suatu kebenaran ketika kalian belum mampu menjawabnya, hal ini
yang harus disadari dalam diri kita, bahwa satu-satunya cara adalah dengan
meningkatkan bacaan kita. Semakin luas bacaan kita maka akan semakin luas pula
cara kita berpikir, memandang, dan berpendapat.
Yang perlu diingat adalah suatu tes tidak hanya
berfungsi untuk menentukan prestasi, melainkan supaya manusia tetap rendah hati
terkait apapun yang telah ia raih, baik dari segi ilmu dan lain sebagainya. Ini
juga menjadi bahan refleksi pada diri kita akan luasnya pengetahuan itu
sendiri, “setinggi-tinggi langit masih ada langit di atasnya” dapat diartikan
setinggi-tinggi pengetahuan dan keterampilan kita maka masih ada yang lebih
tinggi lagi. Inilah yang memposisikan diri kita selaku manusia tidak ada alasan
untuk berprilaku sombong, terlebih dalam menuntut ilmu, sebab dalam filsafat,
kesombongan dalam arti normative disebut mitos. Mitos itu sendiri artinya
ketidakjelasan, maka dalam belajar filsafat selalu dibatasi dengan berpikir
secara spiritual. Demikian bahwa spiritual adalah batasan berpikir manusia,
dimana ketika manusia tidak sanggup berpikir lagi secara benar, maka ranah
spiritual lah yang mengambil alaih tugas tersebut, supaya manusia tidak
terjerumus dari pikiran-pikiran yang melenceng jauh dari kebenaran, yaitu
dengan berdo’a. dan sebenar-benar do’a adalah ketika kita dalam berdoa tidak
menyadarinya atau dalam keadaan tidak paham karena kekhusyu’an.
Demikian pentingnya budaya “membaca”, dengan membaca
kita mampu mengadakan pada diri kita yang mungkin ada. Mengolah pengetahuan
sebagai upaya untuk membangun diri sendiri kea rah yang lebih baik. Sehingga
filsafat dapat diartikan adalah diri sendiri. Filsafat tidak mengenal istilah
menuangkan, mentransfer, mengajarkan, karena filsafat adalah membangun diri
sendiri dengan kemampuan, tekad, kesadaran dari dirinya sendiri.
Pertanyaan selanjutnya dari saudari Evvy yang
menanyakan: “Bagaimana pendapat filsafat
mengenai pemimpin yang sesuai dengan ruang dan waktu?”.
Prof. Marsigit pun lantas menjelaskan terkait
pertanyaan di atas, suatu kepemimpinan adalah menyangkut pemimpin dan yang
dipimpin. Sehingga dalam kepemimpinan itu pun memiliki tingkatan dimensi.
Demikian bahwa pemimpin memiliki dimensi yang lebih tinggi dan dapat dikatakan
sebagai dewa terhadap yang dipimpinnya. Dengannya pemimpin adalah ia yang harus
mempunyai dimensi lebih tinggi, artinya seorang pemimpin adalah mereka yang
memiliki jiwa kepemimpinan yang lebih baik, berwawasan luas, emosional yang
baik, dan bukan semena-mena orang dapat menjadi pemimpin jika tidak memenuhi
kriteria tersebut, dan pastinya memiliki pengalaman yang lebih luas dan tinggi.
Oleh karena itu, formalnya dari suatu tekad untuk menjadi pemimpin generasi
bangsa selanjutnya adalah dengan melanjutkan pendidikannya ke yang lebih
tinggi, baik yang S1 melanjutkan S2, yang S2 melanjutkan pendidikan ke jenjang
S3, dan seterusnya untuk mengembangkan kemampuan diri. Inilah upaya untuk
meningkatkan dimensi seseorang itu sendiri melalui pengetahuan dan pengalaman
dari belajar.
Demikian bahwa hidup ini dapat digambarkan suatu
bentuk yang siklik. Yang mana berawal dari bayi dalam keadaan polosnya,
kekanak-kanakan, dan butuh momongan, selalu berkembang dan belajar dari
lingkungan sekitarnya. Kemudian di masa tua yang kembali seperti kanak-kanak,
seiring bertambahnya umur dan bertambah tua, demikian pula baik dalam bentuk
fisik dan kognitif pun juga menurun, seperti merunduknya tubuh, dan
lama-kelamaan pun hanya bisa merangkak bahkan berbaring. Inilah yang menandakan
bahwa hidup ini berlakunya hukum karma, timbal balik, berbakti kepada orang tua
sebagaimana orang tua kita mengasuh dengan sangat baik kita waktu kecil.
Demikian pula ketika kita menjadi pemimpin, bukanlah urusan yang gampang,
sehingga janganlah diri kita ini bertindak yang semena-mena dengan melakukan
determinasi. Karena setiap individu yang dipimpin adalah dunia, setiap orang
memiliki dunianya masing-masing, tidaklah bersikap adil nan bijaksana ketika
kita memilih suatu sifat ataupun sikap yang mana itu baik untuk diri kita.
Namun, permasalahannya apakah itu baik pula untuk orang lain sehingga dapat
mengabaikan bahkan menghancurkan dunia-dunia orang yang kita pimpin karena
sifat dan sikap determinis kita.
Selanjutnya, perkuliahan ini diisi dengan pertanyaan
yang diutarakan oleh saudari Tri Rahma: “Bagaimana
cara untuk dapat menembus/mengarungi dunia ini secara ikhlas?”
Prof. Marsigit pun menjelaskan perihal pertanyaan
tersebut kurang lebihnya sebagai berikut. Dalam kehidupan dunia ini, memiliki
berbagai dimensi hidup. Dan ketika kita membicarakan dari sudut pandang
filsafat terkait keikhlasan, maka seseorang yang ikhlas dalam mengarungi
kehidupan ini adalah mereka yang dapat menembus ruang dan waktu secara ikhlas,
sehingga bagaimana mereka dapat menembus ruang dan waktunya secara ikhlas?
Yaitu mereka yang menjalani kehidupan ini sesuai dengan prosedurnya,
aturan-aturan, sunnatullah. Sehingga beliau memposisikan keikhlasan itu berada
satu tingkat di bawah spiritual. Sebagai contoh benda mati yang ada di sekitar
kita seperti batu pun dapat menembus ruang dan waktu dengan ikhlas, karena
tidak pernah melakukan protes terhadap diriya sendiri. Sehingga keikhlasan
dalam diri adalah kunci seseorang dapat menembus ruang dan waktu. Demikian
dapat dikatakan bahwa sebenar-benar hidup adalah ikhlas itu sendiri dengan
menjalankan apa-apa yang Allah SWT perintahkan kepada seluruh manusia dengan
sesuai kodratnya. Begitupun dalam belajar, terlebih filsafat itu sendiri dengan
keikhlasan baik dalam kemandirian dalam belajar, kemerdekaan dan sadar akan
diri kita untuk terus berkembang.
Masih dengan sesi Tanya jawab, pertanyaan selanjutnya
diajukan oleh saudari Fitriani yang menanyakan: “Apa sebenarnya perbedaan antara para dewa dengan powernow?”
Seperti pertanyaan sebelumnya, Prof Marsigit
menjelaskan terkait apa yang dipertanyaan oleh saudari Fitriani. Beliau pun
mengawali penjelasannya dengan analogi bahwa ayam adalah dewanya cacing, dan
cacing pun dewanya tanah oleh sebab cacing memakan tanah. Sebagaimana halnya diri
kita adalah dewa bagi adik kita (jika memiliki adik), dosen adalah dewa bagi
mahasiswanya, dan menteri pun adalah dewanya dosen. Ini pun yang menjelaskan
hidup ini memiliki tingkatan dimensi, dan setiap manusia memiliki hak dan
peluang untuk meningkatkan kualitas diri yang secara tidak langsung pun
menjadikan kedudukannya sebagai dewa bagi objeknya, yang mengindikasikan
kedudukannya sebagai subjek.
Ketika kita membicarakan Negara-negara yang ada di
dunia ini, maka Amerika, Cina, dan Rusia adalah Negara dewa yaitu mereka yang
memiliki kekuatan yang lebih. Dan Indonesia pun adalah Negara daksa jika
dibandingkan dari segi kekuatan dan sebagainya dengan ketiga Negara tersebut.
Jika dewa ini diturunkan pada kajian sosial politik maka dapat disebut istilah
powernow. Istilah ini dibuat oleh mereka sendiri dengan struktur dari yang
terkecil yaitu arkaek, tribal, tradisional, fiodal, modern, post modern, postmo
(kontemporer). Sehingga dalam jaman sekarag ini (jaman kontemporer) yang bertindak
sebagai dewa adalah sang powernow, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan,
kekuatan sebagaimana Negara Amerika Serikat dengan Barack Obama sebagai
dewanya. Hal ini saling berkaitan dengan pertanyaan setelahnya dari saudari Nur
Afni yaitu: “Apa bedanya powernow dengan
superpower?”
Superpower adalah yang memiliki kekuatan besar dan
wajahnya yang banyak. Yang mana ini merupakan bentuk manipulasi terhadap ruang
dan waktu. Sehingga ketika kita bergaul oleh superpower seperti halnya Negara
Amerika yang menerapkan standar ganda, yaitu apa yang mereka lakukan dan
upayakan kepada Negara-negara kecil adalah semata-mata demi meraih keuntungan
yang mereka inginkan secara tersembunyi, satu sisi mengulurkan tangan untuk
membantu dan sisi lain mengambil keuntungan yang tersembunyi (secara halus).
Wallaahu a’lam bish shoab